Selasa, 28 Desember 2010

Outlook Asuransi 2011: Berlayar di antara Anomali Alam dan Pertumbuhan Ekonomi


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily


Tahun 2010 merupakan tahun anomali dari segi alam. Pasalnya, sepanjang tahun hujan turun tanpa mengenal musim. Akibatnya, banjir terjadi di mana-mana dan dapat mengakibatkan wabah penyakit. Sementara itu, hujan lebat dan angin yang kencang bisa mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, tumbangnya pepohonan, dan rubuhnya papan reklame atau tiang listrik. Kebakaran pun bisa terpicu karena sambaran petir.


Tidak sedikit kerugian yang ditanggung perusahaan asuransi dan reasuransi karena anomali cuaca. Namun, bencana alam yang bukan anomali, seperti gempa bumi, gunung berapi, dan tsunami juga mendera kembali. Apalagi, bencana alam seringkali memberi dampak yang tidak sedikit, baik dari segi harta maupun nyawa.


Tak ayal lagi, dunia perasuransian perlu melihat risiko-risiko dengan korban banyak (katastrofik) sebagai risiko yang perlu diperhatikan secara khusus. Demikian imbauan dari Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) kepada para pelaku industri perasuransian. “Situasi akan baik dari sisi makro ekonomi tahun depan, namun hal yang perlu diwaspadai adalah kondisi cuaca dan bencana alam,” kata Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata.


Kewaspadaan tersebut membuat perusahaan asuransi harus mampu untuk lebih cerdas mengarungi anomali alam dan pertumbuhan ekonomi yang positif. Hal itu berarti lebih cermat dalam menyusun rencana bisnis terutama pos-pos terpenting, baik pertumbuhan premi, hasil underwriting, klaim, dan laba.


Berdasarkan catatan Bapepam-LK hingga September 2010, industri asuransi nasional harus membayar klaim sebesar Rp 42,43 triliun atau meningkat 10,41% dari periode yang sama sebelumnya sebesar Rp 38,4 triliun. Angka itu disumbang oleh klaim asuransi jiwa sebesar Rp 31,44 triliun dan asuransi umum Rp 10,98 triliun. Klaim industri asuransi jiwa terutama dipicu oleh larisnya produk asuransi jiwa yang dikombinasikan oleh investasi (unit link), yaitu klaim penebusan (redemption) atas hasil investasi.


Menurut Isa, jika pada 2011 hujan masih terus terjadi sepanjang tahun, perusahaan asuransi umum yang memiliki produk asuransi rangka kapal (marine hull), pengangkutan (marine cargo), asuransi properti, asuransi kesehatan, dan asuransi kecelakaan pribadi (personal accident/PA) perlu waspada. “Musim hujan bisa menimbulkan wabah penyakit yang tidak diprediksi sebelumnya. Perusahaan asuransi yang berfokus pada bisnis asuransi kesehatan perlu mewaspadai itu,” kata Isa.


Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan serta General Manager PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia Muhammad Taufik mengatakan, asuransi kesehatan memang sangat potensial untuk bertumbuh di Indonesia, terutama produk jenis kumpulan (grup) untuk karyawan perusahaan (employee benefit). Pasalnya, banyak perusahaan yang belum mengasuransikan karyawannya.


PT Asuransi Central Asia (ACA) turut melihat prospek positif tersebut dan menggarapnya melalui asuransi mikro untuk perlindungan dari penyakit demam berdarah, bernama DB Care. Produk tersebut juga dipasarkan dengan sistem bancassurance dengan PT Bank OCBC NISP Tbk. “Satu unit premi nasabah untuk DB Care hanya dikenakan Rp 120 ribu,” kata Direktur ACA Muljadi Kusuma.


Sedangkan untuk produk proteksi demam berdarah di luar DB Care, jumlah peserta yang terjaring sebanyak 15 ribu orang. Perusahaan telah bekerja sama dengan ritel Indomaret untuk menjualnya dengan sistem voucher, sehingga bisa dijual dengan harga murah.


Asuransi kecelakaan pribadi (personal accident) juga bakal terpengaruh secara tidak langsung, baik karena kondisi cuaca maupun semakin banyaknya kendaraan di jalan. Menurut PT Asuransi Jasa Raharja (Persero), kecelakaan di darat masih didominasi oleh sepeda motor. Angka kecelakaan sepeda motor tersebut dicatat oleh Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya per September 2010, yang mencapai sekitar 70,24% dari total populasi kendaraan di Jakarta sebanyak 11,6 juta unit.


“Sebab itu, kami mengajukan kenaikan nilai santunan kepada Kementerian Keuangan. Diharapkan, pada 2012, nilai santunan bisa mencapai Rp 40-50 juta. Tahun ini, nilai santunan masih sebesar Rp 25 juta,” kata Direktur Utama Jasa Raharja Diding S Anwar.


Di sisi lain, Isa melanjutkan, terdapat risiko bencana alam, terutama gempa bumi yang tidak dapat diprediksi namun bisa diperhitungkan secara ilmiah. Perusahaan asuransi, terutama yang berfokus di properti, perlu mulai memikirkan pencadangan untuk risiko katastrofik (catastrophic reserving).


“Beberapa perusahaan sudah mulai menerapkan sistem tersebut, namun kemungkinan perlu diatur lebih spesifik dalam regulasi. Bisa melalui asuransi bencana alam yang diwajibkan, maupun cara lain. Seringkali asuransi hanya menghitung risiko berdasarkan risiko individual, bukan katastrofik. Asuransi jiwa juga harus mewaspadai jika terjadi ribuan atau puluhan ribu orang meninggal,” papar Isa.


Namun, reasuransi hingga kini masih merugi akibat perang harga di asuransi properti. Presiden Direktur PT Maskapai Reasuransi Indonesia Tbk (Marein) Robby Loho mengatakan, nilai klaim yang harus ditanggung reasuransi lebih besar dibanding premi yang didapat dari asuransi. Hal itu menjadi semakin buruk jika terjadi catastrophic loss seperti gempa bumi.


Regulator pun memutuskan untuk tidak mengatur tarif premi asuransi properti seperti halnya premi asuransi kendaraan bermotor yang diatur. Pasalnya, kata Isa, sifat asuransi properti mayoritas menyangkut hajat hidup orang banyak karena aset yang ditanggung adalah gedung bertingkat. Sedangkan kendaraan bermotor berbasis asuransi individual.


Tumbuh 15-30%

Di sisi lain, industri perasuransian cukup optimistis dalam memperkirakan pertumbuhan bisnis tahun depan. Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Evelina F Pietruschka memprediksi, industri asuransi jiwa bisa bertumbuh setidaknya 30% baik dari sisi premi, hasil investasi, dan lainnya. Pasalnya, tahun ini pertumbuhannya sudah 30% lebih dan saya kira tahun depan juga sama. “Tahun depan pertumbuhan ekonomi juga berada di sekitar 6% seperti saat ini,” ujar Evelina kepada Investor Daily.


Dia menjelaskan, asuransi jiwa selalu mengukur pertumbuhan dari daya beli (purchasing power) masyarakat secara umum. Kondisi ekonomi makro yang masih positif mendongkrak daya beli tersebut, sehingga masyarakat meningkatkan pembelian asuransinya.


Selain asuransi kesehatan, Evelina melihat, masyarakat juga masih meminati asuransi jiwa tradisional dan unit link yang menyumbang cukup signifikan. Faktor krisis 2008 dan gempa bumi juga dinilainya menjadi key drivers yang membuat masyarakat mulai menengok asuransi.


Chief Executive Officer PT Asuransi CIGNA Christine Setyabudhi menilai, produk bundle yang dipasarkan dengan bancassurance mampu menjangkau masyarakat banyak. “Industri asuransi jiwa memiliki tantangan untuk membidik nasabah perbankan, terutama bank top five,” ujar dia.


Di sisi investasi, Isa menilai, kondisi makro yang cukup stabil membuat pasar modal dan pasar keuangan juga tetap positif. Namun, dia tetap mengimbau, asuransi jiwa perlu menjaga aspek prudential jika banyak berinvestasi di saham. Keseimbangan antara imbal hasil (yield) dan risiko, kata Isa, perlu tetap diukur.


Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Kornelius Simanjuntak juga memperkirakan pertumbuhan asuransi umum tahun depan sekitar 15-20%. Pertumbuhannya, kata dia, bisa lebih tinggi lagi jika pemerintah segera melaksanakan program percepatan pembangunan infrastruktur. Asuransi umum, kata dia, bisa lebih berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi melalui surety bond, asuransi properti, asuransi marine cargo, dan lain-lain.


Menurut data Bapepam-LK, industri asuransi nasional telah menghimpun premi bruto sebesar Rp 74,70 triliun hingga September 2010. Angka itu disumbang oleh asuransi jiwa sebesar Rp 53,33 triliun dan asuransi kerugian serta reasuransi sebesar Rp 21,36 triliun.


Sedangkan pertumbuhan dana investasi industri asuransi mencapai 18% atau sebesar Rp 334,2 triliun. Asuransi jiwa menyumbang sebesar Rp 155,6 triliun dan asuransi kerugian serta reasuransi menyumbang Rp 31,7 triliun.


Dari sisi aset, industri telah membukukan sebesar Rp 214,93 triliun atau tumbuh sebesar Rp 21,4% dibandingkan total aset pada akhir 2009 sebesar Rp 176,94 triliun. Asuransi jiwa menyumbang aset sebesar Rp 170,19 triliun dan asuransi kerugian serta reasuransi menyumbang Rp 44,74 triliun.


Asuransi syariah juga mencatat aset sebesar Rp 4,07 triliun hingga September 2010. Angka tersebut berarti tumbuh sebesar 34,7% secara year to date dibandingkan total aset pada akhir 2009 sebesar Rp 3,02 triliun.


Permodalan dan Kepatuhan

Namun, beberapa perusahaan asuransi masih memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai, yaitu pemenuhan ketentuan modal minimum sebesar Rp 40 miliar bagi asuransi konvensional dan tambahan Rp 25 miliar untuk asuransi konvensional yang memiliki unit usaha syariah (UUS). Sedangkan untuk reasuransi, modal minimum sebesar Rp 100 miliar dan tambahan Rp 50 miliar untuk reasuransi yang memiliki UUS.


Awalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, tenggat waktu ditentukan akhir tahun ini untuk modal minimum Rp 40 miliar, kemudian ditingkatkan menjadi Rp 70 miliar pada 2012 dan Rp 100 miliar pada 2014. Namun, belakangan Biro Perasuransian Bapepam-LK memberikan jeda tiga bulan hingga Maret 2011.


Langkah itu dilakukan karena masih ada 29 asuransi jiwa dan umum yang belum memenuhi modal minimum Rp 40 miliar. Dari 29 perusahaan tersebut, 21 merupakan asuransi umum dan 8 asuransi jiwa. Kendati demikian, kata Isa, tidak bisa disimpulkan dengan cepat bahwa 29 perusahaan tersebut akan tutup karena banyak di antaranya yang melakukan langkah signifikan atau merencanakan penambahan modal.


“Misalnya dengan menyuntik modal, akuisisi, merger, mengembalikan izin usaha, atau pun mengkonversi menjadi syariah full fledge. Beberapa di antaranya memang serius melakukan aksi korporasi tersebut,” kata Isa.


Sedangkan terkait kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) kepada nasabah produk Diamond Investa senilai Rp 300 miliar, regulator tetap mendukung nasabah dan mengimbau PT Bakrie Capital Indonesia selaku pemegang saham untuk menyediakan dananya.


Isa menegaskan, Bapepam-LK tidak akan mencabut izin usaha Bakrie Life agar tetap memiliki akses pengawasan ke perusahaan itu. Namun, izin Bakrie Life kemungkinan besar tetap akan dicabut setelah kasus tuntas. “Sekarang status usahanya adalah dibekukan. Tapi jangan dibayangkan setelah Bakrie Life membayar lunas, mereka tetap dibiarkan beroperasi,” tukas dia. (grc)


Senin, 02 Agustus 2010

BI: Redenominasi Masih Kajian Internal


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily


JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menegaskan, isu redenominasi atau pengurangan angka nol pada denominasi rupiah masih berupa kajian internal. Sebab itu, rencana redenominasi tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat dan membutuhkan waktu minimal lima tahun.


“Kami baru mengkaji pro dan kontranya, karena kami sadar ini tidak gampang. Ini masih berupa riset internal di BI,” kata Kepala Biro Perencanaan Strategis dan Humas BI Difi A Johansyah dalam surat elektroniknya kepada Investor Daily, Senin (2/7).


Difi menjelaskan, pengkajian redenominasi untuk meningkatkan efisiensi sistem pembayaran dalam rangka integrasi Indonesia ke ekonomi regional. Penghilangan nol, lanjut dia, akan memudahkan masyarakat dalam transaksi pembayaran.


Sebelumnya, Gubernur BI Darmin Nasution juga mengatakan bahwa BI harus membicarakan terlebih dahulu rencana tersebut kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah itu, BI akan mensosialisasikan secara terbuka mengenai apakah rencana itu bakal dilaksanakan atau tidak.


Difi melanjutkan, penerapan redenominasi membutuhkan waktu transisi minimal lima tahun. Selama itu, kata dia, pedagang wajib mencantumkan label dalam dua jenis mata uang. “Yaitu uang lama yang belum dipotong dan uang baru yang nolnya sudah dipotong, sehingga tercipta kontrol publik,” ujar dia.


Dia memberi contoh, negara yang cukup berhasil melakukan program redenominasi adalah Turki. Di sana, program tersebut baru dilaksanakan setelah tercapai komitmen nasional. Selain itu, berbagai syarat untuk stabilisasi ekonomi seperti defisit fiskal juga harus dilaksanakan.


Di banyak negara yang sukses melakukan redenominasi, pelaksanaan dilakukan pada saat inflasi dan ekspektasi inflasi yang stabil serta rendah. “Itu merupakan syarat penting. Sebab di sana, program redenominasi intnya adalah penyederhanaan akunting dan sistem pembayaran tidak akan menimbulkan dampak bagi ekonomi,” jelas Difi.


Syarat keberhasilan lainnya, kata dia, merupakan persepsi dan pemahaman masyarakat yang mendukung dan berdasarkan kebutuhan riil di masyarakat. Di luar negeri, redenominasi tidak akan menambah pencetakan uang, sebab unit lembarannya relatif sama. Karena merupakan penyederhanaan numerikal, di dalam redenominasi yang mengalami perubahan hanyalah sistem akunting dan teknologi informasi.


Berbeda dengan Sanering

Namun, Difi menambahkan, redenominasi berbeda dengan sanering yang dilakukan di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Sebab, dampak yang merugikan masyarakat perlu dihindari. “Redenominasi butuh waktu dan persiapan yang matang, termasuk sosialisasinya. Program ini harus berdasarkan kebutuhan masyarakat dan ekonomi sehingga ada manfaatnya,” jelas Difi.


Sanering merupakan pemotongan nilai uang terhadap barang. Dalam sanering, harga barang tidak dipotong. Namun, di dalam redenominasi, pemotongan nol dilakukan terhadap nilai uang dan nilai intrinsik barang tersebut.



BTN Buka Kantor Regional di Bekasi


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily


JAKARTA – PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) meresmikan Kantor Wilayah I (Regional Office I) dan kantor cabang yang berlokasi di Harapan Indah, Bekasi. Hal itu dilakukan perseroan untuk lebih giat dalam persaingan.


“Persaingan di bisnis perbankan membuat kami harus melakukan banyak perubahan. Bank perlu cepat menangkap peluang bisnis yang ada dan harus berbenah diri dalam memberikan pelayanan lebih baik,” kata Corporate Secretary Rakhmat Nugroho dalam keterangan tertulis yang diterima Investor Daily di Jakarta, Senin (2/8).


Sebab itu, kata Rakhmat, perseroan memutuskan untuk mendirikan kantor regional di Bekasi agar pelayanan menjadi lebih baik. Menurut Direktur Utama BTN Iqbal Latanro, pihaknya sedang menjalankan serangkaian kegiatan korporasi sesuai dengan business plan yang telah ditetapkan perseroan. Salah satu perubahan strategis tersebut adalah struktur organisasi perseroan.


“Kami sudah mengimplementasikan struktur organisasi baru yang lebih fokus kepada nasabah. Hal itu berupa segmentasi nasabah, baik dari sisi konsumer maupun komersial,” tutur Iqbal.


Selain itu, Kantor Wilayah I di Bekasi dinilainya bisa menjadi tonggak sejarah perseroan untuk perubahan tersebut. Sebab, melalui kantor wilayah (Kanwil), manajemen di pusat dapat memanfaatkan sekaligus mengeksekusi potensi bisnis yang ada di wilayah Kanwil tersebut. Koordinasi antara pusat dan cabang dinilainya akan semakin mudah melalui pendirian Kanwil.


“Ini dapat meningkatkan tingkat efisiensi dan fokus bisnis. Sebab, waktu, biaya, dan birokrasi dari cabang ke pusat bisa dipangkas. Dengan demikian, pelayanan kepada nasabah dapat ditingkatkan,” jelas Iqbal.


Iqbal optimistis pihaknya akan memiliki kinerja lebih baik karena perubahan struktur organisasi menjadi lebih efisien. Selain itu, perseroan telah didukung oleh sistem baru yang akan diimplementasikan tahun ini. Sebagai contoh, kata dia, produk berbasis teknologi bernama e-Loan dan e-Coll bakal diluncurkan segera. Produk e-Loan merupakan fasilitas persetujuan pemberian kredit baru secara cepat dan e-Coll merupakan penagihan atau pembinaan kredit tersebut.


Muamalat Raup Rights Issue Minimal Rp 673 Miliar


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily


JAKARTA – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk (Muamalat) mencatat penghimpunan dana minimal Rp 673 miliar dari rights issue yang telah dilakukan. Namun, nilai tersebut sebenarnya bertambah hingga Rp 1 triliun jika semua pemegang saham mengambil haknya untuk membeli saham sendiri.


Perusahaan masih berada dalam tahap pencatatan sehingga penambahan komposisi saham masih bisa dilakukan. Namun, nilai tersebut dipastikan sudah final karena pemegang saham kecil tidak mengambil haknya.


“Hak pertama kali diberikan kepada existing shareholders dan sudah ada indikasi bahwa yang existing itu akan mengambil haknya. Jadi, pemegang saham yang tidak mengambil haknya akan terdilusi,” jelas Director of Compliance and Corporate Planning Muamalat Andi Buchari di Jakarta, pekan lalu.


Saham mayoritas di Muamalat dikuasai oleh tiga investor asing, yaitu Islamic Development Bank (IDB) sebesar 28%, Boubyan Bank Kuwait, dan SETCO, anak usaha Boubyan. Setelah rights issue, IDB menguasai saham sebesar 32,8% dan Boubyan serta SETCO masing-masing menguasai 24,9%. Totalnya mencapai 82,69%.


Saham-saham kecil lainnya dimiliki oleh Atwill Holdings Limited (15%) serta lokal (17%), yaitu individu (Abdul Rohim dan Rizal Ismael) dan publik. Menurut Andi, hasil rights issue tersebut bisa meningkatkan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) menjadi 16%. Sebelum rights issue, CAR perusahaan masih di sekitar 10% sehingga harus ditambah. Perusahaan juga tidak membagikan dividen dari laba tahun 2009 agar dananya bisa ditambahkan ke permodalan (laba ditahan).


Andi mengatakan, dana hasil rights issue akan dibagi menjadi dua porsi, yaitu 60% dan 40%. Porsi sebanyak 40% digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pengembangan jaringan baru, dan renovasi secara fisik. “Itu termasuk meningkatkan standar kualitas kantor, menambah 150 ATM tahun ini, dan membeli kantor-kantor yang gedungnya masih kami sewa,” jelas dia.


Sedangkan porsi 60% digunakan untuk ekspansi pembiayaan, secondary reserve, dan investasi sektor-sektor lainnya. Menurut Andi, dananya bisa digunakan untuk ekspansi semester II hingga 2011. Perusahaan sendiri menargetkan aset tahun ini mencapai Rp 19,5-20 triliun. Hingga semester I-2010, kata dia, aset telah mencapai Rp 16 triliun.


“Untuk pembiayaan, kami menargetkan sekitar Rp 17 triliun atau bertumbuh 20% secara year on year. Namun, kami belum bisa menyebutkan berapa pembiayaan pada semester I ini,” tukas Andi.


Menurut laporan keuangan per Mei 2010, perusahaan telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 12,5 triliun. Aset tercatat sebesar Rp 14,97 triliun dan dana pihak ketiga (DPK) Rp 13,8 triliun. Andi mengatakan, pihaknya masih fokus di korporasi dan ritel sebesar 50-50%. Namun, pada akhir tahun diharapkan bisnis ritel akan menjadi 60% yang ditunjang terutama oleh kredit pemilikan rumah (KPR) dan pembiayaan kendaraan bermotor.


Perusahaan juga membiayai sektor trading finance, oil and gas, transportasi, energi, pembangkit listrik tenaga air (power plant). Dari segi rasio pembiayaan bermasalah (non-performing finance/NPF) gross, hingga Juni sekitar 4%. Sedangkan NPF net sekitar 3,7%. “Pada akhir tahun, NPF gross bisa turun menjadi 3,75% dan net-nya 3%. Sektor yang paling kecil NPF-nya adalah pembiayaan mikro,” papar dia.


Dia mengatakan, di pembiayaan syariah, Bank Indonesia (BI) melarang NPF menjadi tinggi. Jadi, bank syariah selalu melakukan antisipasi jika terdapat kemungkinan pembiayaan bermasalah. Jika terlanjur memiliki NPF tinggi, kata dia, bank syariah bisa melakukan rescheduling, rekondisi, maupun restrukturisasi total.


Perusahaan telah melayani sekitar 3 juta orang nasabah ritel di Indonesia. “Sebagai bank pure syariah pertama, kami telah memiliki sekitar 30% nasabah non-muslim yang terus meningkat terutama di Surabaya. Kami juga memiliki nasabah dari komunitas Tionghoa Jakarta, terutama berdomisili di Kelapa Gading, Pluit, Mangga Dua, dan lain-lain,” kata Andi.


Dalam Sebulan, Dana Asing Masuk Rp 14 Triliun


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily


JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menyatakan, masuknya dana asing sebesar Rp 13-14 triliun dalam satu bulan, yaitu Juli 2010, menyebabkan nilai tukar (kurs) rupiah menguat terhadap US Dollar (USD). Dana tersebut mayoritas masuk ke instrumen Surat Utang Negara (SUN) dan saham.


“Rupiah yang menguat secara tiba-tiba disebabkan oleh data perekonomian Amerika Serikat (AS) yang tidak menggembirakan. Namun, lain halnya dengan Asia, termasuk Indonesia, lebih baik dari perkiraan semula,” kata Gubernur BI Darmin Nasution di Jakarta, Sabtu (31/7).


Darmin menjelaskan, perekonomian Asia dinilai lebih menjanjikan oleh investor, karena fundamental ekonominya jauh lebih kuat. Hal itu menyebabkan para investor asing banyak mengalirkan dana ke Indonesia atau negara-negara berkembang lainnya (emerging markets).


Kali ini, dana masuk ke SUN dan pasar saham karena dampak dari peraturan one month holding period untuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Menurut Darmin, dahulu aliran dana segar (hot money) banyak masuk ke SBI, namun dalam sebulan ini hampir tidak ada yang masuk karena lelang SBI diperpanjang menjadi satu bulan.


“Di SBI justru turun sedikit dibanding akhir Juni. Pada posisi Juni, dana asing di SBI masih sekitar Rp 33 triliun,” ujar Darmin.


Menurut dia, capital inflow saat ini tidak akan terlalu deras seperti pada bulan April hingga Juni. Saat itu, masih terjadi krisis Eropa yang menyebabkan dana dari Eropa dan AS masuk besar-besaran ke Indonesia. Namun, lanjut Darmin, BI tidak akan diam saja dalam mengantisipasi penguatan rupiah yang berlebihan. Pihak BI akan memperhatikan kepentingan dari para pelaku ekonomi, yaitu eksportir, importir, dan konsumen.


“Penguatan ke Rp 9.000 per USD itu tidak bagus bagi para eksportir, jadi harus kita usahakan agar tidak semakin menguat,” kata dia.


Pembiayaan Perbankan Syariah Capai Rp 58 Triliun


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menyatakan, industri perbankan syariah telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 58 triliun pada semester I-2010. Angka itu bertumbuh 38% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 42,19 triliun.


“Pembiayaan bank syariah terus meningkat secara year on year (yoy). Kami berharap, tahun ini pembiayaan bisa tumbuh 43%,” kata Direktur Perbankan Syariah BI Mulya Siregar di Jakarta, pekan lalu.


Dia menambahkan, pada semester I ini total aset juga telah mencapai Rp 75 triliun atau bertumbuh 36% secara yoy. BI menargetkan pertumbuhan aset dapat mencapai Rp 97 triliun pada akhir 2010. Menurut Mulya, dengan banyaknya bank umum syariah (BUS) yang baru bermunculan, aset perbankan syariah bisa bertambah.


Setelah PT BNI Syariah yang diresmikan baru-baru ini, kata dia, dalam waktu dekat PT Bank Maybank Indocorp bakal melepas (spin-off) unit usaha syariah (UUS)-nya menjadi BUS. Saham Maybank Indonesia sendiri mayoritas dikuasai oleh bank asal Malaysia, yaitu Malayan Banking Berhad (Maybank Group). Dengan munculnya Maybank menjadi BUS terakhir di tahun ini, lanjut Mulya, aset perbankan syariah tidak tertutup kemungkinan bisa menembus Rp 97-98 triliun.


Namun, hingga kini proses perizinan Maybank belum selesai. Mulya menjelaskan, tahap yang harus dilalui bank tersebut sebenarnya tinggal sedikit lagi. “Fit and proper test sudah selesai. Tapi kami belum bisa mengatakan kapan izinnya keluar,” ujar dia.


Dia menilai, dengan banyaknya BUS yang bertambah, industri perbankan syariah membutuhkan banyak sumber daya manusia (SDM) yang masih terbatas. SDM perbankan syariah hingga kini masih lebih banyak mengambil dari perbankan konvensional. Namun, kata dia, BI telah bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) untuk program pendidikan SDM bank syariah.


Mulya mengatakan, industri perbankan syariah membutuhkan sekitar 16 ribu SDM syariah. Saat ini, sekitar 10 ribu sudah bekerja di BUS dan UUS seluruh Indonesia. Namun, industri masih membutuhkan enam ribu SDM lagi.


“Bersama LPPI, kami mengadakan Islamic Officer Development Program dan sudah berjalan. Beberapa orang bahkan mendapat beasiswa dan training selama dua bulan. Mereka adalah tenaga yang siap pakai, jadi perbankan syariah bisa langsung merekrut,” jelas dia.


Selain program pendidikan staf biasa (officer), program tersebut juga mendidik calon-calon account officer serta branch manager. Sebab, kata Mulya, jumlah SDM di kedua posisi tersebut masih minim. Posisi kepala cabang (branch manager) diperlukan karena BUS akan ekspansi cabang setelah spin-off dari UUS.


Mengenai penyempurnaan regulasi, Mulya mengungkapkan, pihak BI tengah mengkaji ulang Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait perbankan syariah. Beberapa hal yang bakal diubah, lanjut dia, termasuk soal restrukturisasi pembiayaan bermasalah dan perhitungan sistem bagi hasil atau kualitas aktiva produktif. Dia berharap, pihaknya bisa menyelesaikan revisi tersebut pada Agustus 2010.


BI: Peredaran Uang Capai Rp 269,1 Triliun


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mencatat, jumlah uang kertas dan logam yang beredar di masyarakat mencapai Rp 269,1 triliun pada semester I-2010. Jumlah tersebut terdiri dari uang kertas sebanyak Rp 265,9 triliun dan uang logam Rp 3,2 triliun.


“Mayoritas uang yang beredar tersebut didominasi oleh pecahan atau denominasi kecil, yaitu Rp 1.000 dan Rp 100,” ujar Deputi Gubernur BI Budi Rochadi seusai Peluncuran Gerakan Peduli Koin Nasional di Jakarta, Sabtu (31/7).


Budi memaparkan, denominasi terbesar, yaitu uang kertas Rp 100 ribu beredar sebanyak Rp 135,1 triliun dengan 1,3 miliar lembar kertas. Nilai tersebut berarti sekitar 13,77% dari total uang beredar. Sedangkan uang pecahan Rp 50 ribu mencapai Rp 104,3 triliun dengan 2,1 miliar lembar. Nilai itu setara dengan 21,27% dari uang beredar.


Pecahan uang kertas terkecil, yaitu Rp 1.000, berjumlah Rp 3,04 triliun dengan 3,04 miliar lembar atau setara dengan 31,07% dari total uang beredar. Sedangkan pecahan uang logam Rp 100 berjumlah Rp 175,6 miliar dengan 176 juta keping atau setara dengan 1,17% dari total uang beredar.


Budi mengatakan, jumlah uang logam yang beredar Rp 3,2 triliun setara dengan 14,9 miliar keping. Tahun ini, BI juga berencana mencetak sebanyak 1,6 miliar keping uang logam. Belum lama ini, BI telah meluncurkan uang logam berdenominasi Rp 1.000 dengan gambar alat musik angklung. Uang logam pun mendominasi dengan porsi sekitar 60% dari total uang beredar.


Dalam pencanangan Gerakan Peduli Koin Nasional 2010, BI menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). MoU itu bertujuan untuk mendorong tumbuhnya budaya masyarakat dalam mengoptimalkan penggunaan uang pecahan kecil atau koin dalam kegiatan transaksi.


“Adanya kecenderungan masyarakat untuk menyimpan uang logam atau melakukan hoarding dengan tidak membelanjakan uang logam itu bakal menghambat perputaran uang logam. Sehingga kebutuhan uang logam meningkat sepanjang tahun,” papar Gubernur BI Darmin Nasution.


Darmin menambahkan, keengganan masyarakat untuk menggunakan kembali uang logam, utamanya disebabkan tidak adanya media atau tempat untuk menyalurkannya. Sebab itu, BI bersama Kemendag dan Aprindo mendorong perusahaan ritel atau pedagang bertanggung jawab dalam memberikan hak konsumen dalam bertransaksi, yaitu pengembalian dalam bentuk uang dan bukan bentuk lainnya.


Guna menumbuhkan budaya tersebut, para pedagang atau peritel yang tergabung dalam Aprindo mulai hari ini menyediakan media atau tempat penukaran uang pecahan kecil bagi masyarakat. Terdapat 14 perusahaan ritel yang siap melaksanakan gerakan ini, dengan jumlah outlet paling banyak yaitu Alfamart dan Indomaret (masing-masing 1.050 outlet). Beberapa perusahaan lainnya yang terlibat yaitu Grup Hero (sekaligus Giant dan Guardian), Circle-K, Toserba Yogya, Carrefour, Hypermart, dan lain-lain.


Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, hingga kini masih banyak pengaduan atau keluhan konsumen terkait pengembalian sisa uang transaksi dalam bentuk permen atau sumbangan yang tercantum dalam struk belanja. “Gerakan ini merupakan bentuk tanggung jawab dan respons yang positif dari para pengusaha ritel,” ujar dia.


Jelang Lebaran

Budi mengatakan, BI telah siap menyediakan uang tunai untuk menghadapi hari raya Idul Fitri yang jatuh pada 10-11 September 2010. Menurut Budi, total uang tunai yang disediakan BI telah mencapai Rp 126 triliun. “Jadi, kami sudah bicara dengan bank-bank dan siapa pun, bahwa penukaran uang tidak boleh dibatasi,” kata dia.


Semua orang, kata Budi, boleh menukarkan uang pecahan besar dengan uang pecahan kecil sebanyak-banyaknya. Namun, masyarakat diimbau agar menukarkan uang lebih awal. Kendati demikian, Budi melihat, jumlah uang yang beredar pada bulan Ramadhan dan Lebaran hanya sekitar 10% dibanding masa normal.


“Peredarannya tidak terlalu banyak. Namun, BI selalu siap karena masyarakat sebenarnya tidak menambah uang tunai, hanya menukar pecahan besar dengan pecahan kecil,” jelas dia.

Minggu, 07 Maret 2010

BRI Targetkan Kartu Kredit Tumbuh 25%

Oleh: Grace Dwitiya Amianti
Investor Daily

JAKARTA – Bisnis kartu kredit PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) perlahan-lahan mulai ekspansif. Tahun ini perseroan menargetkan pertumbuhan kartu kredit sebesar 25%.


Hal itu diungkapkan Wakil Kepala Divisi Kartu Kredit BRI Dicky Rozano kepada Investor Daily di Jakarta, Jumat (15/1). Dicky mengatakan, tahun ini pihaknya menargetkan jumlah nasabah kartu kredit sebanyak 500.000 orang. Nilai tersebut berarti meningkat 25% dari target 2009 yaitu 400.000 orang.


Saat ini, jumlah nasabah kartu kredit BRI telah mencapai 265.000 orang yang tersebar di beberapa kota. “Kami ingin ekspansi ke hampir seluruh kota, karena kanal distribusi kartu kredit kami masih melalui kantor cabang. BRI adalah bank yang cabangnya paling banyak,” kata Dicky.


Terkait strategi pemasaran, tahun ini perseroan sudah membidik beberapa kota potensial. Dicky mengatakan, pihaknya juga berencana memperluas bisnis kartu kredit hingga ke tingkat Cabang Pembantu (Capem). Kendati demikian, fokus masih diarahkan ke cabang utama karena belum tergarap secara optimal.


Dia mengakui, pihaknya masih tergolong pemain baru dalam bisnis kartu kredit, karena baru diluncurkan tiga tahun lalu. Namun, dia menilai volume plafon kredit yang sudah dikucurkan sebenarnya terhitung besar untuk pemain baru. “Volumenya sudah lebih dari Rp 2 triliun,” ujar Dicky.


Sementara untuk komposisi jenis kartu kredit, lanjut dia, masih didominasi oleh kartu standard dan gold. Sedangkan nasabah pemegang kartu platinum masih sangat terbatas. “Jumlah platinum tidak sampai 20% karena kami tidak memberikan penawaran secara terbuka,” ujar dia.


Dia mengatakan, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) kartu kredit BRI saat ini masih di bawah 2% atau tidak lebih dari rata-rata NPL pasar. Sedangkan suku bunga yang ditawarkan sebesar 2,68% untuk semua jenis kartu. Dicky melihat, suku bunga tersebut kemungkinan tidak akan turun tahun ini.


“Nampaknya berat untuk turun, karena bunga kami termasuk yang termurah. Bunga kartu kredit bank lain masih di atas 3%. Kami masih mengukur kondisi persaingan dan perkembangan perbankan. Jika tingkat suku bunga Bank Indonesia juga turun, bisa saja kami turunkan, namun belum pasti,” tutur dia.


Tahun ini perseroan akan meluncurkan BRI Visa, setelah sebelumnya bekerja sama dengan Mastercard. Perseroan juga telah mengikuti standar kartu kredit baru yang menggunakan chip dan mengganti kartu lama berupa magnetic stripe.


Corporate Secretary BRI M Ali mengatakan, per 29 Desember 2009 perseroan telah 100% meluncurkan kartu kredit chip. Namun, kata Dicky, masih ada sekitar 6.000 nasabah yang belum membalas permintaan perseroan untuk mengganti kartu lama.


“Kami sudah mengirimkan surat, namun alamat mereka rupanya sudah berubah. Kami juga follow-up melalui pesan singkat seluler (SMS), namun masih ada sekitar 6.000 orang yang belum membalas,” jelas dia.

Avrist Gandeng Manajer Investasi Danareksa

Oleh: Grace Dwitiya Amianti
Investor Daily

JAKARTA – PT Avrist Assurance (dahulu bernama PT Asuransi AIA Indonesia) menjalin kerja sama dengan PT Danareksa Investment Management (DIM) untuk mengelola aset investasi nasabah unit linked syariah.


Perusahaan menyerahkan pengelolaan unit linked syariah kepada DIM melalui produk Danareksa Indeks Syariah. Produk syariah DIM tersebut berupa pengembangan solusi wealth accumulation yang berbasis unit linked.


Direktur Utama Avrist Assurance Harry Hermain Diah mengatakan, produk asuransi plus investasi (unit linked) syariah kini semakin diminati nasabah. Dalam siaran persnya, Harry mengatakan, pihaknya memilih DIM karena pengalaman yang bagus sebagai manajer investasi dan memiliki produk yang beragam.


Hingga September 2009, total dana kelolaan (aset) perusahaan mencapai Rp 7,5 triliun atau naik 39% dari tahun 2008 sebesar Rp 5,45 triliun. Sedangkan tingkat solvabilitas (risk based capital/RBC) sebesar 402% dan pendapatan premi bersih Rp 2,3 triliun.


Dari segi pangsa pasar, Wakil Direktur Utama Avrist Assurance Hendra Than mengatakan, pihaknya telah mendapat peringkat lima besar perusahaan asuransi jiwa di Indonesia berdasarkan aset. Saat ini, jumlah nasabah lebih dari 1 juta orang.


“Tahun ini, kami memperkirakan pertumbuhan jumlah nasabah akan berada di atas rata-rata pertumbuhan nasabah industri asuransi jiwa,” ujar Hendra.


Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia per September 2009, jumlah nasabah asuransi jiwa di Indonesia 7,5 juta orang dan nasabah grup 33 juta. Ketua Umum AAJI Evelina F Pietruschka mengatakan, pertumbuhan nasabah asuransi jiwa nasional pada 2009 sekitar 23-25%.

APF Tutupi Kekurangan Pendanaan

Oleh: Grace Dwitiya Amianti

Investor Daily


JAKARTA – PT Artha Prima Finance (APF) telah menutup kekurangan pendanaan sebesar Rp 480 miliar dari total Rp 680 miliar dengan pinjaman perbankan. Saat ini, perusahaan sedang menunggu pinjaman revolving selanjutnya untuk menutupi sisa Rp 200-300 miliar.


Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Direktur Utama APF Junus Elim Leatemia kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (13/1). Junus mengatakan, kekurangan sekitar Rp 200-300 miliar akan ditutup dengan plafon kredit lanjutan. Plafon tersebut didapat setelah penyaluran pembiayaan baru (new booking) efektif dilaksanakan pada Januari ini.


Pada November 2009, perusahaan masih kekurangan dana sekitar Rp 680 miliar untuk target pembiayaan 2010 sebesar Rp 1,03 triliun. Sedangkan dana yang telah tersedia sejak tahun lalu berasal dari dana sendiri Rp 82,8 miliar dan plafon perbankan Rp 265,2 miliar.


“Saat ini dana masih kurang Rp 200-300 miliar, kami akan tutupi dengan plafon bilateral dari 20 bank, di antaranya PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, dan PT Bank Mega Tbk,” ujar Junus.


Perusahaan belum berencana menerbitkan obligasi tahun ini, sebab jumlah modal (ekuitas) belum mencapai Rp 100 miliar sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Selain itu, pinjaman dari perbankan dinilai Junus sudah mencukupi untuk penyaluran pembiayaan tahun ini.


Junus mengatakan, perusahaan baru akan menerbitkan obligasi pada 2011 setelah permodalan mencapai target sebesar Rp 122,9 miliar. Sedangkan kepastian waktu penerbitan tergantung tingkat bunga obligasi nantinya. Kendati demikian, perusahaan saat ini sudah melakukan penjajakan di pasar obligasi.


Saat ini, modal perusahaan sudah mencapai Rp 90 miliar setelah menghimpun laba ditahan Rp 40 miliar. “Modal Rp 100 miliar akan tercapai pada bulan Juni dari laba ditahan Rp 10 miliar dalam waktu 6 bulan,” ujar Junus.

BNI Minta PBI Permodalan Direvisi

Oleh: Grace Dwitiya Amianti
Investor Daily

JAKARTA – PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) menginginkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 10/15/PBI/2008 direvisi, karena peraturan tersebut menghambat perbankan untuk leluasa mencari modal tambahan atau hybrid.

Direktur Utama BNI Gatot M Suwondo mengatakan, pihaknya terpaksa menunda rencana penerbitan obligasi subordinasi (subdebt) tahun ini karena adanya PBI yang menghambat. Saat ini, perseroan masih membicarakan kelanjutan rencana itu kepada Bank Indonesia (BI) sebagai regulator.

“BI mengajukan ketentuan baru mengenai penerbitan subdebt. Bank harus meminta izin kepada BI ketika hendak melakukan pembayaran determinasi jika melewati masa jatuh tempo. Jika peraturannya demikian, kami susah untuk menerbitkan subdebt,” tutur Gatot di Jakarta, Selasa (12/1).

Sementara itu, Direktur Treasury and International Banking BNI Bien Subiantoro mengatakan, pihaknya belum dapat memaparkan secara mendetil beberapa pasal yang memberatkan tersebut. Namun, faktor utama terkait dengan klasifikasi modal tier two yang merangkum penerbitan subdebt.

Menurut Bien, permasalahan ini dapat memengaruhi keseluruhan industri perbankan secara nasional dalam permodalannya, terutama dana yang berasal dari subdebt. “Ini menjelaskan kenapa banyak bank yang menunda penerbitan subdebt akhir-akhir ini,” ujar dia.

Bien menambahkan, pihaknya telah meneliti peraturan baru yang diajukan BI tersebut dan membandingkannya dengan peraturan perbankan di Basel serta Singapura. Peraturan ini juga berpotensi menghambat perbankan nasional dalam menerbitkan global subdebt.

“Kami masih berbincang dengan BI dan kami sudah menyiapkan segala yang dibutuhkan secara legal, karena ini dapat berdampak secara nasional,” ujar Bien.

Sementara itu, Gatot mengatakan, pihaknya sedang mencari opsi lain untuk menambah modal jika penerbitan subdebt terpaksa ditunda. Menurut dia, perseroan sedang mempertimbangkan secondary offering dan rights issue pada semester I-2010.