Minggu, 07 Maret 2010

BRI Targetkan Kartu Kredit Tumbuh 25%

Oleh: Grace Dwitiya Amianti
Investor Daily

JAKARTA – Bisnis kartu kredit PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) perlahan-lahan mulai ekspansif. Tahun ini perseroan menargetkan pertumbuhan kartu kredit sebesar 25%.


Hal itu diungkapkan Wakil Kepala Divisi Kartu Kredit BRI Dicky Rozano kepada Investor Daily di Jakarta, Jumat (15/1). Dicky mengatakan, tahun ini pihaknya menargetkan jumlah nasabah kartu kredit sebanyak 500.000 orang. Nilai tersebut berarti meningkat 25% dari target 2009 yaitu 400.000 orang.


Saat ini, jumlah nasabah kartu kredit BRI telah mencapai 265.000 orang yang tersebar di beberapa kota. “Kami ingin ekspansi ke hampir seluruh kota, karena kanal distribusi kartu kredit kami masih melalui kantor cabang. BRI adalah bank yang cabangnya paling banyak,” kata Dicky.


Terkait strategi pemasaran, tahun ini perseroan sudah membidik beberapa kota potensial. Dicky mengatakan, pihaknya juga berencana memperluas bisnis kartu kredit hingga ke tingkat Cabang Pembantu (Capem). Kendati demikian, fokus masih diarahkan ke cabang utama karena belum tergarap secara optimal.


Dia mengakui, pihaknya masih tergolong pemain baru dalam bisnis kartu kredit, karena baru diluncurkan tiga tahun lalu. Namun, dia menilai volume plafon kredit yang sudah dikucurkan sebenarnya terhitung besar untuk pemain baru. “Volumenya sudah lebih dari Rp 2 triliun,” ujar Dicky.


Sementara untuk komposisi jenis kartu kredit, lanjut dia, masih didominasi oleh kartu standard dan gold. Sedangkan nasabah pemegang kartu platinum masih sangat terbatas. “Jumlah platinum tidak sampai 20% karena kami tidak memberikan penawaran secara terbuka,” ujar dia.


Dia mengatakan, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) kartu kredit BRI saat ini masih di bawah 2% atau tidak lebih dari rata-rata NPL pasar. Sedangkan suku bunga yang ditawarkan sebesar 2,68% untuk semua jenis kartu. Dicky melihat, suku bunga tersebut kemungkinan tidak akan turun tahun ini.


“Nampaknya berat untuk turun, karena bunga kami termasuk yang termurah. Bunga kartu kredit bank lain masih di atas 3%. Kami masih mengukur kondisi persaingan dan perkembangan perbankan. Jika tingkat suku bunga Bank Indonesia juga turun, bisa saja kami turunkan, namun belum pasti,” tutur dia.


Tahun ini perseroan akan meluncurkan BRI Visa, setelah sebelumnya bekerja sama dengan Mastercard. Perseroan juga telah mengikuti standar kartu kredit baru yang menggunakan chip dan mengganti kartu lama berupa magnetic stripe.


Corporate Secretary BRI M Ali mengatakan, per 29 Desember 2009 perseroan telah 100% meluncurkan kartu kredit chip. Namun, kata Dicky, masih ada sekitar 6.000 nasabah yang belum membalas permintaan perseroan untuk mengganti kartu lama.


“Kami sudah mengirimkan surat, namun alamat mereka rupanya sudah berubah. Kami juga follow-up melalui pesan singkat seluler (SMS), namun masih ada sekitar 6.000 orang yang belum membalas,” jelas dia.

Avrist Gandeng Manajer Investasi Danareksa

Oleh: Grace Dwitiya Amianti
Investor Daily

JAKARTA – PT Avrist Assurance (dahulu bernama PT Asuransi AIA Indonesia) menjalin kerja sama dengan PT Danareksa Investment Management (DIM) untuk mengelola aset investasi nasabah unit linked syariah.


Perusahaan menyerahkan pengelolaan unit linked syariah kepada DIM melalui produk Danareksa Indeks Syariah. Produk syariah DIM tersebut berupa pengembangan solusi wealth accumulation yang berbasis unit linked.


Direktur Utama Avrist Assurance Harry Hermain Diah mengatakan, produk asuransi plus investasi (unit linked) syariah kini semakin diminati nasabah. Dalam siaran persnya, Harry mengatakan, pihaknya memilih DIM karena pengalaman yang bagus sebagai manajer investasi dan memiliki produk yang beragam.


Hingga September 2009, total dana kelolaan (aset) perusahaan mencapai Rp 7,5 triliun atau naik 39% dari tahun 2008 sebesar Rp 5,45 triliun. Sedangkan tingkat solvabilitas (risk based capital/RBC) sebesar 402% dan pendapatan premi bersih Rp 2,3 triliun.


Dari segi pangsa pasar, Wakil Direktur Utama Avrist Assurance Hendra Than mengatakan, pihaknya telah mendapat peringkat lima besar perusahaan asuransi jiwa di Indonesia berdasarkan aset. Saat ini, jumlah nasabah lebih dari 1 juta orang.


“Tahun ini, kami memperkirakan pertumbuhan jumlah nasabah akan berada di atas rata-rata pertumbuhan nasabah industri asuransi jiwa,” ujar Hendra.


Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia per September 2009, jumlah nasabah asuransi jiwa di Indonesia 7,5 juta orang dan nasabah grup 33 juta. Ketua Umum AAJI Evelina F Pietruschka mengatakan, pertumbuhan nasabah asuransi jiwa nasional pada 2009 sekitar 23-25%.

APF Tutupi Kekurangan Pendanaan

Oleh: Grace Dwitiya Amianti

Investor Daily


JAKARTA – PT Artha Prima Finance (APF) telah menutup kekurangan pendanaan sebesar Rp 480 miliar dari total Rp 680 miliar dengan pinjaman perbankan. Saat ini, perusahaan sedang menunggu pinjaman revolving selanjutnya untuk menutupi sisa Rp 200-300 miliar.


Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Direktur Utama APF Junus Elim Leatemia kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (13/1). Junus mengatakan, kekurangan sekitar Rp 200-300 miliar akan ditutup dengan plafon kredit lanjutan. Plafon tersebut didapat setelah penyaluran pembiayaan baru (new booking) efektif dilaksanakan pada Januari ini.


Pada November 2009, perusahaan masih kekurangan dana sekitar Rp 680 miliar untuk target pembiayaan 2010 sebesar Rp 1,03 triliun. Sedangkan dana yang telah tersedia sejak tahun lalu berasal dari dana sendiri Rp 82,8 miliar dan plafon perbankan Rp 265,2 miliar.


“Saat ini dana masih kurang Rp 200-300 miliar, kami akan tutupi dengan plafon bilateral dari 20 bank, di antaranya PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, dan PT Bank Mega Tbk,” ujar Junus.


Perusahaan belum berencana menerbitkan obligasi tahun ini, sebab jumlah modal (ekuitas) belum mencapai Rp 100 miliar sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Selain itu, pinjaman dari perbankan dinilai Junus sudah mencukupi untuk penyaluran pembiayaan tahun ini.


Junus mengatakan, perusahaan baru akan menerbitkan obligasi pada 2011 setelah permodalan mencapai target sebesar Rp 122,9 miliar. Sedangkan kepastian waktu penerbitan tergantung tingkat bunga obligasi nantinya. Kendati demikian, perusahaan saat ini sudah melakukan penjajakan di pasar obligasi.


Saat ini, modal perusahaan sudah mencapai Rp 90 miliar setelah menghimpun laba ditahan Rp 40 miliar. “Modal Rp 100 miliar akan tercapai pada bulan Juni dari laba ditahan Rp 10 miliar dalam waktu 6 bulan,” ujar Junus.

BNI Minta PBI Permodalan Direvisi

Oleh: Grace Dwitiya Amianti
Investor Daily

JAKARTA – PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) menginginkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 10/15/PBI/2008 direvisi, karena peraturan tersebut menghambat perbankan untuk leluasa mencari modal tambahan atau hybrid.

Direktur Utama BNI Gatot M Suwondo mengatakan, pihaknya terpaksa menunda rencana penerbitan obligasi subordinasi (subdebt) tahun ini karena adanya PBI yang menghambat. Saat ini, perseroan masih membicarakan kelanjutan rencana itu kepada Bank Indonesia (BI) sebagai regulator.

“BI mengajukan ketentuan baru mengenai penerbitan subdebt. Bank harus meminta izin kepada BI ketika hendak melakukan pembayaran determinasi jika melewati masa jatuh tempo. Jika peraturannya demikian, kami susah untuk menerbitkan subdebt,” tutur Gatot di Jakarta, Selasa (12/1).

Sementara itu, Direktur Treasury and International Banking BNI Bien Subiantoro mengatakan, pihaknya belum dapat memaparkan secara mendetil beberapa pasal yang memberatkan tersebut. Namun, faktor utama terkait dengan klasifikasi modal tier two yang merangkum penerbitan subdebt.

Menurut Bien, permasalahan ini dapat memengaruhi keseluruhan industri perbankan secara nasional dalam permodalannya, terutama dana yang berasal dari subdebt. “Ini menjelaskan kenapa banyak bank yang menunda penerbitan subdebt akhir-akhir ini,” ujar dia.

Bien menambahkan, pihaknya telah meneliti peraturan baru yang diajukan BI tersebut dan membandingkannya dengan peraturan perbankan di Basel serta Singapura. Peraturan ini juga berpotensi menghambat perbankan nasional dalam menerbitkan global subdebt.

“Kami masih berbincang dengan BI dan kami sudah menyiapkan segala yang dibutuhkan secara legal, karena ini dapat berdampak secara nasional,” ujar Bien.

Sementara itu, Gatot mengatakan, pihaknya sedang mencari opsi lain untuk menambah modal jika penerbitan subdebt terpaksa ditunda. Menurut dia, perseroan sedang mempertimbangkan secondary offering dan rights issue pada semester I-2010.

Target KUR BRI Rp 9 Triliun

Oleh: Grace Dwitiya Amianti
Investor Daily

JAKARTA – PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) menargetkan kucuran Kredit Usaha Rakyat (KUR) tahun ini sebesar Rp 9 triliun. Hingga 2009, realisasi KUR BRI telah mencapai Rp 14 triliun.


Direktur Utama BRI Sofyan Baasyir mengatakan, target KUR tahun ini tidak sebesar tahun lalu karena perubahan skema KUR 2010 dari Kementerian Perekonomian. “Tahun ini KUR mikro kami hanya Rp 8-9 triliun karena jumlah bank yang terlibat semakin banyak,” ujar Sofyan seusai penandatanganan addendum program KUR di Jakarta, Selasa (12/1).


Secara spesifik, perseroan menargetkan kucuran KUR Mikro sebesar Rp 8 triliun dan KUR Ritel Rp 3,67 triliun. Sedangkan suku bunga KUR mikro diturunkan dari 24% menjadi 22% dan KUR ritel dari 16% menjadi 14%. Namun, Sofyan mengatakan, nasabah mikro tidak pernah mempersoalkan suku bunga.


“Bunganya memang masih tinggi, tapi jauh lebih rendah dibandingkan bunga yang ditetapkan rentenir. Suku bunga KUR 22% setahun, berarti satu bulan bunganya hanya 1,12% dan sehari 0,02%. Bagi mereka, itu sangat rendah karena bunga rentenir per harinya 5% dan setahun menjadi 1.800%,” papar Sofyan.


Di sisi lain, dia membantah bahwa perbankan memberikan bunga yang tinggi bagi KUR di sektor industri. Sofyan mengatakan, kredit korporasi hanya dikenakan suku bunga 15% per tahunnya oleh perseroan. Selain itu, spread bunga bersih juga dinilainya sudah turun cukup banyak. “Dari 11% menjadi 9%,” ujar dia.


Sofyan mengatakan, KUR mikro mayoritas dikucurkan di pulau Jawa karena jumlah penduduknya yang banyak. Sedangkan KUR ritel lebih banyak dikucurkan di luar pulau Jawa karena kebutuhan usaha yang lebih besar. “Misalnya petani kakao dan kopi yang membutuhkan Rp 100-200 juta,” ujar dia.


NPL Wajar

Hingga November 2009, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) KUR mencapai 5,75%. Menurut Sofyan, angka tersebut masih cukup wajar karena mayoritas pengusaha mikro belum berpengalaman dalam mengelola utang.


Namun, dia melihat, addendum yang baru ini berpotensi menurunkan NPL sebesar 2-3% karena klaim ke PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) segera dibayar. “Sebelumnya, ada addendum yang mendadak, sehingga Askrindo tidak bisa menerima klaim kami. Namun, karena ada addendum yang baru, semua klaim akan dibayar,” jelas Sofyan.


Hingga kini, Askrindo menanggung klaim KUR bermasalah sebesar 70% dan perbankan menanggung 30%. Namun, Sofyan melihat, permasalahan NPL sebaiknya tidak dibesar-besarkan karena perbankan tetap selektif dalam memberikan kredit. “Sebab, kami masih menanggung risiko 30%,” ujar dia.


Sofyan juga menekankan keinginan BRI untuk menjadi penyalur mikro tunggal karena sistem informasi debitur (SID) dihilangkan dalam program KUR nasional ini. “Karena tidak ada SID, kami akan menjaga melalui sistem teknologi informasi agar tidak terjadi double financing karena tidak termonitor oleh Bank Indonesia,” kata dia.

AFI Targetkan Pembiayaan Rp 900 M

Oleh: Grace Dwitiya Amianti
Investor Daily

JAKARTA – Perusahaan multifinance kelas menengah, PT Andalan Finance Indonesia (AFI), menargetkan pembiayaan baru (new booking) tahun ini dapat mencapai Rp 900 miliar. Nilai itu meningkat 50% dari target pembiayaan 2009 sebesar Rp 600 miliar.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Utama AFI Bungai Ongo kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (11/1). Bungai mengatakan, manajemen menetapkan target yang tinggi setelah melihat tren pertumbuhan penjualan mobil yang positif pada 2010.

“Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memperkirakan penjualan mobil tahun ini dapat bertumbuh 20%. Namun, ekspektasi grup kami terhadap pasar mobil lebih bagus lagi, yakni tumbuh 30%,” kata Bungai.

Perusahaan dimiliki oleh Bintraco/Nasmoco Group yang terjun di usaha otomotif lebih dari 40 tahun. Bungai mengatakan, pihaknya membiayai mobil dengan merek-merek khusus, yaitu Toyota dan Ford, dengan komposisi bekas dan baru sebanyak 50-50%. Dia melihat, tren penjualan mobil merek Toyota akan meningkat tahun ini.

Perusahaan saat ini masih tergolong pemain regional khusus di pulau Jawa, terutama propinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta. “Jumlah nasabah kami yang terbanyak memang di kedua propinsi tersebut, yaitu 10.000 orang,” ujar dia.

Sedangkan jumlah nasabah di Jakarta sekitar 2.500-3.000 orang. Secara nasional, perusahaan telah memberikan pembiayaan kepada 17.500 nasabah. Tahun ini, perusahaan juga mengincar pasar lainnya di pulau Jawa. “Saat ini banyak kebutuhan mobil dari proyek-proyek pemerintah. Tahun ini kami akan mulai masuk ke situ,” kata Bungai.

Hingga akhir 2009, aset perusahaan mencapai Rp 780 miliar atau naik 50% dari total aset pada 2008 sebesar Rp 520 miliar. Sedangkan laba (unaudited) mencapai Rp 17,5 miliar atau naik 75% dari laba 2008 sebesar Rp 10 miliar.

Incar MTN
Guna menggenjot pembiayaan tahun ini, perusahaan mengincar sumber pendanaan dari surat utang jangka menengah (medium term notes/MTN). Bungai mengatakan, pihaknya lebih meminati MTN karena lebih murah dan efisien dibanding obligasi. “Pengurusan MTN di Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan lebih ringkas,” ujar dia.

Namun, rencana penerbitan MTN tersebut diakuinya masih dalam penggodokan dan nilainya belum dapat diperkirakan. Jika penerbitan jadi dilaksanakan, Bungai mengatakan, pihaknya memilih semester II sebagai waktu yang tepat.

Selain MTN, perusahaan tengah mengejar kucuran kredit perbankan yang dinilainya sedang bagus tahun ini. “Sekarang perbankan tampak mulai gencar lagi dalam memberikan gerojokan kredit,” pungkas dia.

SAN Finance Rencanakan Obligasi Rp 300 M

Oleh: Grace Dwitiya Amianti
Investor Daily

JAKARTA – PT Surya Artha Nusantara Finance (SAN Finance) berencana menerbitkan obligasi sebesar Rp 300 miliar pada semester II-2010. Dana yang didapat akan digunakan untuk menggenjot pembiayaan pada paruh kedua tahun ini, karena permintaan komoditas global mulai membaik.

Hal itu diungkapkan oleh Direktur Utama SAN Finance Susilo Sudjono kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (6/1). Susilo mengatakan, nilai obligasi itu direncanakan minimal Rp 300 miliar karena mempertimbangkan ukuran bisnis perusahaan yang cukup besar.

“Nilai tersebut sesuai kebutuhan perusahaan, size kami memang besar. Lagipula, jika minimal bukan Rp 300 miliar, biayanya akan lebih mahal. Di instrumen obligasi memang banyak biaya yang sudah fixed, jadi semakin besar nilainya, semakin murah biaya yang harus dikeluarkan,” tutur Susilo.

Perusahaan memilih menerbitkan obligasi pada semester II-2010 karena dana diperkirakan masih cukup dan ekonomi membaik. Susilo melihat, suku bunga akan terus turun dan inflasi akan terjaga sepanjang tahun ini. Jika batal menerbitkan pada semester II, perusahaan akan membidik kuartal IV.

“Jadi, pressing pembiayaan pada semester II akan lebih bagus daripada semester I,” ujar dia.

Tahun ini, perusahaan menargetkan pembiayaan sebesar Rp 1,7 triliun atau naik 20-25%. Sebelumnya, Susilo sempat memperkirakan pembiayaan pada akhir 2009 mencapai Rp 1,4-1,45 triliun. Sedangkan pembiayaan pada akhir November 2009 telah mencapai Rp 1,25 triliun.

Namun, target Rp 1,7 triliun itu dinilai Susilo masih fleksibel. Dia menjelaskan, pihaknya selalu mengkaji target setiap tiga bulan sekali. “Kami akan melihat lagi kinerja bulan Maret, kemudian Juni. Kami optimis karena permintaan global untuk minyak kelapa sawit dan batubara meningkat,” kata dia.

Selain rencana menerbitkan obligasi, perusahaan juga akan memperpanjang Surat Utang Jangka Menengah (medium term notes/MTN) dengan nilai Rp 300 miliar sejak November 2009. Susilo mengatakan, penerbitan MTN itu akan dilakukan pada kuartal II-2010.

Incar Dana Segar
Pada Desember 2009, perusahaan multifinance yang sepenuhnya bergerak di pembiayaan alat-alat berat ini telah mendapat kucuran kredit modal kerja dari lima bank sebesar Rp 528,8 miliar atau sekitar US$ 56 juta dolar. Susilo mengatakan, pinjaman tersebut akan habis digunakan hingga April 2010.

“Kira-kira Maret atau April pinjaman itu sudah digunakan. Setelah itu, kami akan mencari lagi dari perbankan lokal atau luar negeri. Kami akan mencari yang baru, namun tetap menjaga hubungan dengan mitra bank yang sudah ada. Jadi, kami berusaha untuk semakin dikenal,” kata Susilo.

Namun, perusahaan belum mempertimbangkan untuk terjun di pasar modal agar lebih dikenal publik. Menurut Susilo, hal itu merupakan sepenuhnya keputusan pemegang saham, yaitu PT Astra International Tbk dan Marubeni Corporation.

Tahun ini, perusahaan juga merencanakan pembukaan cabang-cabang baru di Indonesia bagian Timur untuk memperluas pasar, terutama di Papua dan Makassar. “Kelapa sawit sekarang sudah banyak di Papua, tanahnya bagus. Sedangkan pertambangan nikel dan biji besi di Halmahera,” ujar dia.

Wacana Deposit Taking Terus Bergulir

Oleh: Grace Dwitiya Amianti

Investor Daily


JAKARTA – Memasuki tahun 2010, industri pembiayaan melihat wacana deposit taking atau penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) tetap bergulir. Rencananya, keinginan itu akan disertakan dalam usulan pembuatan Undang-Undang (UU) tentang Lembaga Pembiayaan atau Multifinance.


Sejak Oktober 2009, Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mengharapkan adanya payung hukum untuk melindungi industri multifinance. Dengan adanya UU Pembiayaan, APPI mengharapkan industri dapat diizinkan menghimpun DPK layaknya perbankan.


“Industri ini sudah sangat besar, namun kenapa kami tidak diperbolehkan untuk menerima dana masyarakat?,” ujar Sekjen APPI Dennis Firmansjah di Jakarta, belum lama ini.


Pendapat tersebut didukung oleh pelaku industri multifinance. Menurut Direktur Utama PT Federal International Finance Tbk (FIF) Soehartono, meskipun peredaran uang di industri multifinance mencapai triliunan, kompetisi masih berat karena sumber pendanaan masih terbatas.


“Perbankan saat ini sudah banyak yang terjun di multifinance, membiayai mobil, dan mungkin sebentar lagi sepeda motor. Namun, kompetisi jadi berat untuk multifinance karena kami masih tidak boleh menerima DPK,” kata Soehartono kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (5/12).


Sementara itu, Direktur Utama PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk (WOM Finance) Suwandi Wiratno menilai, penghimpunan DPK dapat meminimalisasi risiko yang dapat muncul dari pendanaan.


“Pinjaman dolar banyak risikonya, seperti derivate risk dan polemic change risk. Kemudian risiko krisis likuiditas di perbankan. Jika bank tiba-tiba ngerem, sementara portofolio kami sudah ada, apa yang harus kami lakukan untuk mengatasi kebutuhan dana?,” jelas Suwandi.


Namun, Soehartono melihat, deposit taking tidak akan serta-merta melepas ketergantungan multifinance terhadap perbankan, karena penghimpunan DPK hanya menjadi salah satu opsi sumber dana. Suwandi juga melihat hal yang sama, karena masyarakat kemungkinan masih belum terbiasa menyimpan dana di multifinance.


“Dibanding bisnis multi-level marketing (MLM) yang juga menghimpun dana masyarakat, seharusnya industri multifinance lebih dipercaya karena lebih resmi dan aman jika UU Pembiayaan sudah ada,” ujar Suwandi.


Bunga Murah

Suwandi mengatakan, opsi pendanaan yang makin luas akan bermanfaat bagi nasabah multifinance karena suku bunga yang dikenakan lebih murah dalam pelepasan kredit. Dennis juga melihat besaran bunga pembiayaan masih sangat bergantung pada bunga kredit perbankan.


Namun, untuk suku bunga simpanan, Dennis memperkirakan industri multifinance akan memasang imbal hasil yang lebih tinggi dibanding suku bunga simpanan perbankan. Hal itu dilakukan guna bersaing dengan perbankan secara sehat dalam menarik masyarakat.


Dari segi pola penghimpunan DPK multifinance, Soehartono melihat, praktik di luar negeri lebih mirip dengan instrumen Medium Term Notes (MTN) yang dipasarkan melalui lembaga sekuritas. Selain itu, otoritas keuangan di sana menganalisa perusahaan yang diperbolehkan menghimpun DPK.


“Misalnya seperti di Jepang, tidak bisa setiap hari nasabah datang seperti di bank. Issuer pun minimal harus tiga bulan. Orang juga tidak bisa langsung menabung, jadi sifatnya lebih privat dan bukan publik seperti bank. Kesehatan perusahaan yang memiliki izin deposit taking juga diawasi terus,” kata dia.


Kendati mengharapkan wacana ini dapat diseriusi oleh pemerintah, pelaku industri dan APPI tetap mengakui adanya kendala benturan dengan regulasi yang lain, yakni UU Perbankan. Suwandi mengatakan, detail untuk pelaksanaan wacana ini akan rumit dan melibatkan banyak penelitian.


Menurut Dennis, proses yang akan dilakukan APPI tahun ini untuk usulan UU Pembiayaan masih banyak. Hal itu termasuk melakukan kajian akademis dan menggalang informasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Ketidaksinkronan antara UU Perbankan dengan usulan UU Pembiayaan dinilainya wajar.


“Memang regulator masih akan membereskan regulasi yang ada. Dahulu, mungkin belum terpikirkan industri multifinance akan menghimpun DPK, karena industri saat itu masih kecil. Namun, memang kenyataannya UU dan pelaku pasar selalu saling mengejar,” tutur Dennis.