Senin, 02 Agustus 2010

BI: Redenominasi Masih Kajian Internal


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily


JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menegaskan, isu redenominasi atau pengurangan angka nol pada denominasi rupiah masih berupa kajian internal. Sebab itu, rencana redenominasi tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat dan membutuhkan waktu minimal lima tahun.


“Kami baru mengkaji pro dan kontranya, karena kami sadar ini tidak gampang. Ini masih berupa riset internal di BI,” kata Kepala Biro Perencanaan Strategis dan Humas BI Difi A Johansyah dalam surat elektroniknya kepada Investor Daily, Senin (2/7).


Difi menjelaskan, pengkajian redenominasi untuk meningkatkan efisiensi sistem pembayaran dalam rangka integrasi Indonesia ke ekonomi regional. Penghilangan nol, lanjut dia, akan memudahkan masyarakat dalam transaksi pembayaran.


Sebelumnya, Gubernur BI Darmin Nasution juga mengatakan bahwa BI harus membicarakan terlebih dahulu rencana tersebut kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah itu, BI akan mensosialisasikan secara terbuka mengenai apakah rencana itu bakal dilaksanakan atau tidak.


Difi melanjutkan, penerapan redenominasi membutuhkan waktu transisi minimal lima tahun. Selama itu, kata dia, pedagang wajib mencantumkan label dalam dua jenis mata uang. “Yaitu uang lama yang belum dipotong dan uang baru yang nolnya sudah dipotong, sehingga tercipta kontrol publik,” ujar dia.


Dia memberi contoh, negara yang cukup berhasil melakukan program redenominasi adalah Turki. Di sana, program tersebut baru dilaksanakan setelah tercapai komitmen nasional. Selain itu, berbagai syarat untuk stabilisasi ekonomi seperti defisit fiskal juga harus dilaksanakan.


Di banyak negara yang sukses melakukan redenominasi, pelaksanaan dilakukan pada saat inflasi dan ekspektasi inflasi yang stabil serta rendah. “Itu merupakan syarat penting. Sebab di sana, program redenominasi intnya adalah penyederhanaan akunting dan sistem pembayaran tidak akan menimbulkan dampak bagi ekonomi,” jelas Difi.


Syarat keberhasilan lainnya, kata dia, merupakan persepsi dan pemahaman masyarakat yang mendukung dan berdasarkan kebutuhan riil di masyarakat. Di luar negeri, redenominasi tidak akan menambah pencetakan uang, sebab unit lembarannya relatif sama. Karena merupakan penyederhanaan numerikal, di dalam redenominasi yang mengalami perubahan hanyalah sistem akunting dan teknologi informasi.


Berbeda dengan Sanering

Namun, Difi menambahkan, redenominasi berbeda dengan sanering yang dilakukan di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Sebab, dampak yang merugikan masyarakat perlu dihindari. “Redenominasi butuh waktu dan persiapan yang matang, termasuk sosialisasinya. Program ini harus berdasarkan kebutuhan masyarakat dan ekonomi sehingga ada manfaatnya,” jelas Difi.


Sanering merupakan pemotongan nilai uang terhadap barang. Dalam sanering, harga barang tidak dipotong. Namun, di dalam redenominasi, pemotongan nol dilakukan terhadap nilai uang dan nilai intrinsik barang tersebut.



BTN Buka Kantor Regional di Bekasi


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily


JAKARTA – PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) meresmikan Kantor Wilayah I (Regional Office I) dan kantor cabang yang berlokasi di Harapan Indah, Bekasi. Hal itu dilakukan perseroan untuk lebih giat dalam persaingan.


“Persaingan di bisnis perbankan membuat kami harus melakukan banyak perubahan. Bank perlu cepat menangkap peluang bisnis yang ada dan harus berbenah diri dalam memberikan pelayanan lebih baik,” kata Corporate Secretary Rakhmat Nugroho dalam keterangan tertulis yang diterima Investor Daily di Jakarta, Senin (2/8).


Sebab itu, kata Rakhmat, perseroan memutuskan untuk mendirikan kantor regional di Bekasi agar pelayanan menjadi lebih baik. Menurut Direktur Utama BTN Iqbal Latanro, pihaknya sedang menjalankan serangkaian kegiatan korporasi sesuai dengan business plan yang telah ditetapkan perseroan. Salah satu perubahan strategis tersebut adalah struktur organisasi perseroan.


“Kami sudah mengimplementasikan struktur organisasi baru yang lebih fokus kepada nasabah. Hal itu berupa segmentasi nasabah, baik dari sisi konsumer maupun komersial,” tutur Iqbal.


Selain itu, Kantor Wilayah I di Bekasi dinilainya bisa menjadi tonggak sejarah perseroan untuk perubahan tersebut. Sebab, melalui kantor wilayah (Kanwil), manajemen di pusat dapat memanfaatkan sekaligus mengeksekusi potensi bisnis yang ada di wilayah Kanwil tersebut. Koordinasi antara pusat dan cabang dinilainya akan semakin mudah melalui pendirian Kanwil.


“Ini dapat meningkatkan tingkat efisiensi dan fokus bisnis. Sebab, waktu, biaya, dan birokrasi dari cabang ke pusat bisa dipangkas. Dengan demikian, pelayanan kepada nasabah dapat ditingkatkan,” jelas Iqbal.


Iqbal optimistis pihaknya akan memiliki kinerja lebih baik karena perubahan struktur organisasi menjadi lebih efisien. Selain itu, perseroan telah didukung oleh sistem baru yang akan diimplementasikan tahun ini. Sebagai contoh, kata dia, produk berbasis teknologi bernama e-Loan dan e-Coll bakal diluncurkan segera. Produk e-Loan merupakan fasilitas persetujuan pemberian kredit baru secara cepat dan e-Coll merupakan penagihan atau pembinaan kredit tersebut.


Muamalat Raup Rights Issue Minimal Rp 673 Miliar


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily


JAKARTA – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk (Muamalat) mencatat penghimpunan dana minimal Rp 673 miliar dari rights issue yang telah dilakukan. Namun, nilai tersebut sebenarnya bertambah hingga Rp 1 triliun jika semua pemegang saham mengambil haknya untuk membeli saham sendiri.


Perusahaan masih berada dalam tahap pencatatan sehingga penambahan komposisi saham masih bisa dilakukan. Namun, nilai tersebut dipastikan sudah final karena pemegang saham kecil tidak mengambil haknya.


“Hak pertama kali diberikan kepada existing shareholders dan sudah ada indikasi bahwa yang existing itu akan mengambil haknya. Jadi, pemegang saham yang tidak mengambil haknya akan terdilusi,” jelas Director of Compliance and Corporate Planning Muamalat Andi Buchari di Jakarta, pekan lalu.


Saham mayoritas di Muamalat dikuasai oleh tiga investor asing, yaitu Islamic Development Bank (IDB) sebesar 28%, Boubyan Bank Kuwait, dan SETCO, anak usaha Boubyan. Setelah rights issue, IDB menguasai saham sebesar 32,8% dan Boubyan serta SETCO masing-masing menguasai 24,9%. Totalnya mencapai 82,69%.


Saham-saham kecil lainnya dimiliki oleh Atwill Holdings Limited (15%) serta lokal (17%), yaitu individu (Abdul Rohim dan Rizal Ismael) dan publik. Menurut Andi, hasil rights issue tersebut bisa meningkatkan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) menjadi 16%. Sebelum rights issue, CAR perusahaan masih di sekitar 10% sehingga harus ditambah. Perusahaan juga tidak membagikan dividen dari laba tahun 2009 agar dananya bisa ditambahkan ke permodalan (laba ditahan).


Andi mengatakan, dana hasil rights issue akan dibagi menjadi dua porsi, yaitu 60% dan 40%. Porsi sebanyak 40% digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pengembangan jaringan baru, dan renovasi secara fisik. “Itu termasuk meningkatkan standar kualitas kantor, menambah 150 ATM tahun ini, dan membeli kantor-kantor yang gedungnya masih kami sewa,” jelas dia.


Sedangkan porsi 60% digunakan untuk ekspansi pembiayaan, secondary reserve, dan investasi sektor-sektor lainnya. Menurut Andi, dananya bisa digunakan untuk ekspansi semester II hingga 2011. Perusahaan sendiri menargetkan aset tahun ini mencapai Rp 19,5-20 triliun. Hingga semester I-2010, kata dia, aset telah mencapai Rp 16 triliun.


“Untuk pembiayaan, kami menargetkan sekitar Rp 17 triliun atau bertumbuh 20% secara year on year. Namun, kami belum bisa menyebutkan berapa pembiayaan pada semester I ini,” tukas Andi.


Menurut laporan keuangan per Mei 2010, perusahaan telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 12,5 triliun. Aset tercatat sebesar Rp 14,97 triliun dan dana pihak ketiga (DPK) Rp 13,8 triliun. Andi mengatakan, pihaknya masih fokus di korporasi dan ritel sebesar 50-50%. Namun, pada akhir tahun diharapkan bisnis ritel akan menjadi 60% yang ditunjang terutama oleh kredit pemilikan rumah (KPR) dan pembiayaan kendaraan bermotor.


Perusahaan juga membiayai sektor trading finance, oil and gas, transportasi, energi, pembangkit listrik tenaga air (power plant). Dari segi rasio pembiayaan bermasalah (non-performing finance/NPF) gross, hingga Juni sekitar 4%. Sedangkan NPF net sekitar 3,7%. “Pada akhir tahun, NPF gross bisa turun menjadi 3,75% dan net-nya 3%. Sektor yang paling kecil NPF-nya adalah pembiayaan mikro,” papar dia.


Dia mengatakan, di pembiayaan syariah, Bank Indonesia (BI) melarang NPF menjadi tinggi. Jadi, bank syariah selalu melakukan antisipasi jika terdapat kemungkinan pembiayaan bermasalah. Jika terlanjur memiliki NPF tinggi, kata dia, bank syariah bisa melakukan rescheduling, rekondisi, maupun restrukturisasi total.


Perusahaan telah melayani sekitar 3 juta orang nasabah ritel di Indonesia. “Sebagai bank pure syariah pertama, kami telah memiliki sekitar 30% nasabah non-muslim yang terus meningkat terutama di Surabaya. Kami juga memiliki nasabah dari komunitas Tionghoa Jakarta, terutama berdomisili di Kelapa Gading, Pluit, Mangga Dua, dan lain-lain,” kata Andi.


Dalam Sebulan, Dana Asing Masuk Rp 14 Triliun


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily


JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menyatakan, masuknya dana asing sebesar Rp 13-14 triliun dalam satu bulan, yaitu Juli 2010, menyebabkan nilai tukar (kurs) rupiah menguat terhadap US Dollar (USD). Dana tersebut mayoritas masuk ke instrumen Surat Utang Negara (SUN) dan saham.


“Rupiah yang menguat secara tiba-tiba disebabkan oleh data perekonomian Amerika Serikat (AS) yang tidak menggembirakan. Namun, lain halnya dengan Asia, termasuk Indonesia, lebih baik dari perkiraan semula,” kata Gubernur BI Darmin Nasution di Jakarta, Sabtu (31/7).


Darmin menjelaskan, perekonomian Asia dinilai lebih menjanjikan oleh investor, karena fundamental ekonominya jauh lebih kuat. Hal itu menyebabkan para investor asing banyak mengalirkan dana ke Indonesia atau negara-negara berkembang lainnya (emerging markets).


Kali ini, dana masuk ke SUN dan pasar saham karena dampak dari peraturan one month holding period untuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Menurut Darmin, dahulu aliran dana segar (hot money) banyak masuk ke SBI, namun dalam sebulan ini hampir tidak ada yang masuk karena lelang SBI diperpanjang menjadi satu bulan.


“Di SBI justru turun sedikit dibanding akhir Juni. Pada posisi Juni, dana asing di SBI masih sekitar Rp 33 triliun,” ujar Darmin.


Menurut dia, capital inflow saat ini tidak akan terlalu deras seperti pada bulan April hingga Juni. Saat itu, masih terjadi krisis Eropa yang menyebabkan dana dari Eropa dan AS masuk besar-besaran ke Indonesia. Namun, lanjut Darmin, BI tidak akan diam saja dalam mengantisipasi penguatan rupiah yang berlebihan. Pihak BI akan memperhatikan kepentingan dari para pelaku ekonomi, yaitu eksportir, importir, dan konsumen.


“Penguatan ke Rp 9.000 per USD itu tidak bagus bagi para eksportir, jadi harus kita usahakan agar tidak semakin menguat,” kata dia.


Pembiayaan Perbankan Syariah Capai Rp 58 Triliun


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menyatakan, industri perbankan syariah telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 58 triliun pada semester I-2010. Angka itu bertumbuh 38% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 42,19 triliun.


“Pembiayaan bank syariah terus meningkat secara year on year (yoy). Kami berharap, tahun ini pembiayaan bisa tumbuh 43%,” kata Direktur Perbankan Syariah BI Mulya Siregar di Jakarta, pekan lalu.


Dia menambahkan, pada semester I ini total aset juga telah mencapai Rp 75 triliun atau bertumbuh 36% secara yoy. BI menargetkan pertumbuhan aset dapat mencapai Rp 97 triliun pada akhir 2010. Menurut Mulya, dengan banyaknya bank umum syariah (BUS) yang baru bermunculan, aset perbankan syariah bisa bertambah.


Setelah PT BNI Syariah yang diresmikan baru-baru ini, kata dia, dalam waktu dekat PT Bank Maybank Indocorp bakal melepas (spin-off) unit usaha syariah (UUS)-nya menjadi BUS. Saham Maybank Indonesia sendiri mayoritas dikuasai oleh bank asal Malaysia, yaitu Malayan Banking Berhad (Maybank Group). Dengan munculnya Maybank menjadi BUS terakhir di tahun ini, lanjut Mulya, aset perbankan syariah tidak tertutup kemungkinan bisa menembus Rp 97-98 triliun.


Namun, hingga kini proses perizinan Maybank belum selesai. Mulya menjelaskan, tahap yang harus dilalui bank tersebut sebenarnya tinggal sedikit lagi. “Fit and proper test sudah selesai. Tapi kami belum bisa mengatakan kapan izinnya keluar,” ujar dia.


Dia menilai, dengan banyaknya BUS yang bertambah, industri perbankan syariah membutuhkan banyak sumber daya manusia (SDM) yang masih terbatas. SDM perbankan syariah hingga kini masih lebih banyak mengambil dari perbankan konvensional. Namun, kata dia, BI telah bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) untuk program pendidikan SDM bank syariah.


Mulya mengatakan, industri perbankan syariah membutuhkan sekitar 16 ribu SDM syariah. Saat ini, sekitar 10 ribu sudah bekerja di BUS dan UUS seluruh Indonesia. Namun, industri masih membutuhkan enam ribu SDM lagi.


“Bersama LPPI, kami mengadakan Islamic Officer Development Program dan sudah berjalan. Beberapa orang bahkan mendapat beasiswa dan training selama dua bulan. Mereka adalah tenaga yang siap pakai, jadi perbankan syariah bisa langsung merekrut,” jelas dia.


Selain program pendidikan staf biasa (officer), program tersebut juga mendidik calon-calon account officer serta branch manager. Sebab, kata Mulya, jumlah SDM di kedua posisi tersebut masih minim. Posisi kepala cabang (branch manager) diperlukan karena BUS akan ekspansi cabang setelah spin-off dari UUS.


Mengenai penyempurnaan regulasi, Mulya mengungkapkan, pihak BI tengah mengkaji ulang Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait perbankan syariah. Beberapa hal yang bakal diubah, lanjut dia, termasuk soal restrukturisasi pembiayaan bermasalah dan perhitungan sistem bagi hasil atau kualitas aktiva produktif. Dia berharap, pihaknya bisa menyelesaikan revisi tersebut pada Agustus 2010.


BI: Peredaran Uang Capai Rp 269,1 Triliun


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mencatat, jumlah uang kertas dan logam yang beredar di masyarakat mencapai Rp 269,1 triliun pada semester I-2010. Jumlah tersebut terdiri dari uang kertas sebanyak Rp 265,9 triliun dan uang logam Rp 3,2 triliun.


“Mayoritas uang yang beredar tersebut didominasi oleh pecahan atau denominasi kecil, yaitu Rp 1.000 dan Rp 100,” ujar Deputi Gubernur BI Budi Rochadi seusai Peluncuran Gerakan Peduli Koin Nasional di Jakarta, Sabtu (31/7).


Budi memaparkan, denominasi terbesar, yaitu uang kertas Rp 100 ribu beredar sebanyak Rp 135,1 triliun dengan 1,3 miliar lembar kertas. Nilai tersebut berarti sekitar 13,77% dari total uang beredar. Sedangkan uang pecahan Rp 50 ribu mencapai Rp 104,3 triliun dengan 2,1 miliar lembar. Nilai itu setara dengan 21,27% dari uang beredar.


Pecahan uang kertas terkecil, yaitu Rp 1.000, berjumlah Rp 3,04 triliun dengan 3,04 miliar lembar atau setara dengan 31,07% dari total uang beredar. Sedangkan pecahan uang logam Rp 100 berjumlah Rp 175,6 miliar dengan 176 juta keping atau setara dengan 1,17% dari total uang beredar.


Budi mengatakan, jumlah uang logam yang beredar Rp 3,2 triliun setara dengan 14,9 miliar keping. Tahun ini, BI juga berencana mencetak sebanyak 1,6 miliar keping uang logam. Belum lama ini, BI telah meluncurkan uang logam berdenominasi Rp 1.000 dengan gambar alat musik angklung. Uang logam pun mendominasi dengan porsi sekitar 60% dari total uang beredar.


Dalam pencanangan Gerakan Peduli Koin Nasional 2010, BI menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). MoU itu bertujuan untuk mendorong tumbuhnya budaya masyarakat dalam mengoptimalkan penggunaan uang pecahan kecil atau koin dalam kegiatan transaksi.


“Adanya kecenderungan masyarakat untuk menyimpan uang logam atau melakukan hoarding dengan tidak membelanjakan uang logam itu bakal menghambat perputaran uang logam. Sehingga kebutuhan uang logam meningkat sepanjang tahun,” papar Gubernur BI Darmin Nasution.


Darmin menambahkan, keengganan masyarakat untuk menggunakan kembali uang logam, utamanya disebabkan tidak adanya media atau tempat untuk menyalurkannya. Sebab itu, BI bersama Kemendag dan Aprindo mendorong perusahaan ritel atau pedagang bertanggung jawab dalam memberikan hak konsumen dalam bertransaksi, yaitu pengembalian dalam bentuk uang dan bukan bentuk lainnya.


Guna menumbuhkan budaya tersebut, para pedagang atau peritel yang tergabung dalam Aprindo mulai hari ini menyediakan media atau tempat penukaran uang pecahan kecil bagi masyarakat. Terdapat 14 perusahaan ritel yang siap melaksanakan gerakan ini, dengan jumlah outlet paling banyak yaitu Alfamart dan Indomaret (masing-masing 1.050 outlet). Beberapa perusahaan lainnya yang terlibat yaitu Grup Hero (sekaligus Giant dan Guardian), Circle-K, Toserba Yogya, Carrefour, Hypermart, dan lain-lain.


Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, hingga kini masih banyak pengaduan atau keluhan konsumen terkait pengembalian sisa uang transaksi dalam bentuk permen atau sumbangan yang tercantum dalam struk belanja. “Gerakan ini merupakan bentuk tanggung jawab dan respons yang positif dari para pengusaha ritel,” ujar dia.


Jelang Lebaran

Budi mengatakan, BI telah siap menyediakan uang tunai untuk menghadapi hari raya Idul Fitri yang jatuh pada 10-11 September 2010. Menurut Budi, total uang tunai yang disediakan BI telah mencapai Rp 126 triliun. “Jadi, kami sudah bicara dengan bank-bank dan siapa pun, bahwa penukaran uang tidak boleh dibatasi,” kata dia.


Semua orang, kata Budi, boleh menukarkan uang pecahan besar dengan uang pecahan kecil sebanyak-banyaknya. Namun, masyarakat diimbau agar menukarkan uang lebih awal. Kendati demikian, Budi melihat, jumlah uang yang beredar pada bulan Ramadhan dan Lebaran hanya sekitar 10% dibanding masa normal.


“Peredarannya tidak terlalu banyak. Namun, BI selalu siap karena masyarakat sebenarnya tidak menambah uang tunai, hanya menukar pecahan besar dengan pecahan kecil,” jelas dia.