Selasa, 28 Desember 2010

Outlook Asuransi 2011: Berlayar di antara Anomali Alam dan Pertumbuhan Ekonomi


Oleh: Grace Dwitiya Amianti / Investor Daily


Tahun 2010 merupakan tahun anomali dari segi alam. Pasalnya, sepanjang tahun hujan turun tanpa mengenal musim. Akibatnya, banjir terjadi di mana-mana dan dapat mengakibatkan wabah penyakit. Sementara itu, hujan lebat dan angin yang kencang bisa mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, tumbangnya pepohonan, dan rubuhnya papan reklame atau tiang listrik. Kebakaran pun bisa terpicu karena sambaran petir.


Tidak sedikit kerugian yang ditanggung perusahaan asuransi dan reasuransi karena anomali cuaca. Namun, bencana alam yang bukan anomali, seperti gempa bumi, gunung berapi, dan tsunami juga mendera kembali. Apalagi, bencana alam seringkali memberi dampak yang tidak sedikit, baik dari segi harta maupun nyawa.


Tak ayal lagi, dunia perasuransian perlu melihat risiko-risiko dengan korban banyak (katastrofik) sebagai risiko yang perlu diperhatikan secara khusus. Demikian imbauan dari Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) kepada para pelaku industri perasuransian. “Situasi akan baik dari sisi makro ekonomi tahun depan, namun hal yang perlu diwaspadai adalah kondisi cuaca dan bencana alam,” kata Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata.


Kewaspadaan tersebut membuat perusahaan asuransi harus mampu untuk lebih cerdas mengarungi anomali alam dan pertumbuhan ekonomi yang positif. Hal itu berarti lebih cermat dalam menyusun rencana bisnis terutama pos-pos terpenting, baik pertumbuhan premi, hasil underwriting, klaim, dan laba.


Berdasarkan catatan Bapepam-LK hingga September 2010, industri asuransi nasional harus membayar klaim sebesar Rp 42,43 triliun atau meningkat 10,41% dari periode yang sama sebelumnya sebesar Rp 38,4 triliun. Angka itu disumbang oleh klaim asuransi jiwa sebesar Rp 31,44 triliun dan asuransi umum Rp 10,98 triliun. Klaim industri asuransi jiwa terutama dipicu oleh larisnya produk asuransi jiwa yang dikombinasikan oleh investasi (unit link), yaitu klaim penebusan (redemption) atas hasil investasi.


Menurut Isa, jika pada 2011 hujan masih terus terjadi sepanjang tahun, perusahaan asuransi umum yang memiliki produk asuransi rangka kapal (marine hull), pengangkutan (marine cargo), asuransi properti, asuransi kesehatan, dan asuransi kecelakaan pribadi (personal accident/PA) perlu waspada. “Musim hujan bisa menimbulkan wabah penyakit yang tidak diprediksi sebelumnya. Perusahaan asuransi yang berfokus pada bisnis asuransi kesehatan perlu mewaspadai itu,” kata Isa.


Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan serta General Manager PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia Muhammad Taufik mengatakan, asuransi kesehatan memang sangat potensial untuk bertumbuh di Indonesia, terutama produk jenis kumpulan (grup) untuk karyawan perusahaan (employee benefit). Pasalnya, banyak perusahaan yang belum mengasuransikan karyawannya.


PT Asuransi Central Asia (ACA) turut melihat prospek positif tersebut dan menggarapnya melalui asuransi mikro untuk perlindungan dari penyakit demam berdarah, bernama DB Care. Produk tersebut juga dipasarkan dengan sistem bancassurance dengan PT Bank OCBC NISP Tbk. “Satu unit premi nasabah untuk DB Care hanya dikenakan Rp 120 ribu,” kata Direktur ACA Muljadi Kusuma.


Sedangkan untuk produk proteksi demam berdarah di luar DB Care, jumlah peserta yang terjaring sebanyak 15 ribu orang. Perusahaan telah bekerja sama dengan ritel Indomaret untuk menjualnya dengan sistem voucher, sehingga bisa dijual dengan harga murah.


Asuransi kecelakaan pribadi (personal accident) juga bakal terpengaruh secara tidak langsung, baik karena kondisi cuaca maupun semakin banyaknya kendaraan di jalan. Menurut PT Asuransi Jasa Raharja (Persero), kecelakaan di darat masih didominasi oleh sepeda motor. Angka kecelakaan sepeda motor tersebut dicatat oleh Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya per September 2010, yang mencapai sekitar 70,24% dari total populasi kendaraan di Jakarta sebanyak 11,6 juta unit.


“Sebab itu, kami mengajukan kenaikan nilai santunan kepada Kementerian Keuangan. Diharapkan, pada 2012, nilai santunan bisa mencapai Rp 40-50 juta. Tahun ini, nilai santunan masih sebesar Rp 25 juta,” kata Direktur Utama Jasa Raharja Diding S Anwar.


Di sisi lain, Isa melanjutkan, terdapat risiko bencana alam, terutama gempa bumi yang tidak dapat diprediksi namun bisa diperhitungkan secara ilmiah. Perusahaan asuransi, terutama yang berfokus di properti, perlu mulai memikirkan pencadangan untuk risiko katastrofik (catastrophic reserving).


“Beberapa perusahaan sudah mulai menerapkan sistem tersebut, namun kemungkinan perlu diatur lebih spesifik dalam regulasi. Bisa melalui asuransi bencana alam yang diwajibkan, maupun cara lain. Seringkali asuransi hanya menghitung risiko berdasarkan risiko individual, bukan katastrofik. Asuransi jiwa juga harus mewaspadai jika terjadi ribuan atau puluhan ribu orang meninggal,” papar Isa.


Namun, reasuransi hingga kini masih merugi akibat perang harga di asuransi properti. Presiden Direktur PT Maskapai Reasuransi Indonesia Tbk (Marein) Robby Loho mengatakan, nilai klaim yang harus ditanggung reasuransi lebih besar dibanding premi yang didapat dari asuransi. Hal itu menjadi semakin buruk jika terjadi catastrophic loss seperti gempa bumi.


Regulator pun memutuskan untuk tidak mengatur tarif premi asuransi properti seperti halnya premi asuransi kendaraan bermotor yang diatur. Pasalnya, kata Isa, sifat asuransi properti mayoritas menyangkut hajat hidup orang banyak karena aset yang ditanggung adalah gedung bertingkat. Sedangkan kendaraan bermotor berbasis asuransi individual.


Tumbuh 15-30%

Di sisi lain, industri perasuransian cukup optimistis dalam memperkirakan pertumbuhan bisnis tahun depan. Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Evelina F Pietruschka memprediksi, industri asuransi jiwa bisa bertumbuh setidaknya 30% baik dari sisi premi, hasil investasi, dan lainnya. Pasalnya, tahun ini pertumbuhannya sudah 30% lebih dan saya kira tahun depan juga sama. “Tahun depan pertumbuhan ekonomi juga berada di sekitar 6% seperti saat ini,” ujar Evelina kepada Investor Daily.


Dia menjelaskan, asuransi jiwa selalu mengukur pertumbuhan dari daya beli (purchasing power) masyarakat secara umum. Kondisi ekonomi makro yang masih positif mendongkrak daya beli tersebut, sehingga masyarakat meningkatkan pembelian asuransinya.


Selain asuransi kesehatan, Evelina melihat, masyarakat juga masih meminati asuransi jiwa tradisional dan unit link yang menyumbang cukup signifikan. Faktor krisis 2008 dan gempa bumi juga dinilainya menjadi key drivers yang membuat masyarakat mulai menengok asuransi.


Chief Executive Officer PT Asuransi CIGNA Christine Setyabudhi menilai, produk bundle yang dipasarkan dengan bancassurance mampu menjangkau masyarakat banyak. “Industri asuransi jiwa memiliki tantangan untuk membidik nasabah perbankan, terutama bank top five,” ujar dia.


Di sisi investasi, Isa menilai, kondisi makro yang cukup stabil membuat pasar modal dan pasar keuangan juga tetap positif. Namun, dia tetap mengimbau, asuransi jiwa perlu menjaga aspek prudential jika banyak berinvestasi di saham. Keseimbangan antara imbal hasil (yield) dan risiko, kata Isa, perlu tetap diukur.


Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Kornelius Simanjuntak juga memperkirakan pertumbuhan asuransi umum tahun depan sekitar 15-20%. Pertumbuhannya, kata dia, bisa lebih tinggi lagi jika pemerintah segera melaksanakan program percepatan pembangunan infrastruktur. Asuransi umum, kata dia, bisa lebih berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi melalui surety bond, asuransi properti, asuransi marine cargo, dan lain-lain.


Menurut data Bapepam-LK, industri asuransi nasional telah menghimpun premi bruto sebesar Rp 74,70 triliun hingga September 2010. Angka itu disumbang oleh asuransi jiwa sebesar Rp 53,33 triliun dan asuransi kerugian serta reasuransi sebesar Rp 21,36 triliun.


Sedangkan pertumbuhan dana investasi industri asuransi mencapai 18% atau sebesar Rp 334,2 triliun. Asuransi jiwa menyumbang sebesar Rp 155,6 triliun dan asuransi kerugian serta reasuransi menyumbang Rp 31,7 triliun.


Dari sisi aset, industri telah membukukan sebesar Rp 214,93 triliun atau tumbuh sebesar Rp 21,4% dibandingkan total aset pada akhir 2009 sebesar Rp 176,94 triliun. Asuransi jiwa menyumbang aset sebesar Rp 170,19 triliun dan asuransi kerugian serta reasuransi menyumbang Rp 44,74 triliun.


Asuransi syariah juga mencatat aset sebesar Rp 4,07 triliun hingga September 2010. Angka tersebut berarti tumbuh sebesar 34,7% secara year to date dibandingkan total aset pada akhir 2009 sebesar Rp 3,02 triliun.


Permodalan dan Kepatuhan

Namun, beberapa perusahaan asuransi masih memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai, yaitu pemenuhan ketentuan modal minimum sebesar Rp 40 miliar bagi asuransi konvensional dan tambahan Rp 25 miliar untuk asuransi konvensional yang memiliki unit usaha syariah (UUS). Sedangkan untuk reasuransi, modal minimum sebesar Rp 100 miliar dan tambahan Rp 50 miliar untuk reasuransi yang memiliki UUS.


Awalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, tenggat waktu ditentukan akhir tahun ini untuk modal minimum Rp 40 miliar, kemudian ditingkatkan menjadi Rp 70 miliar pada 2012 dan Rp 100 miliar pada 2014. Namun, belakangan Biro Perasuransian Bapepam-LK memberikan jeda tiga bulan hingga Maret 2011.


Langkah itu dilakukan karena masih ada 29 asuransi jiwa dan umum yang belum memenuhi modal minimum Rp 40 miliar. Dari 29 perusahaan tersebut, 21 merupakan asuransi umum dan 8 asuransi jiwa. Kendati demikian, kata Isa, tidak bisa disimpulkan dengan cepat bahwa 29 perusahaan tersebut akan tutup karena banyak di antaranya yang melakukan langkah signifikan atau merencanakan penambahan modal.


“Misalnya dengan menyuntik modal, akuisisi, merger, mengembalikan izin usaha, atau pun mengkonversi menjadi syariah full fledge. Beberapa di antaranya memang serius melakukan aksi korporasi tersebut,” kata Isa.


Sedangkan terkait kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) kepada nasabah produk Diamond Investa senilai Rp 300 miliar, regulator tetap mendukung nasabah dan mengimbau PT Bakrie Capital Indonesia selaku pemegang saham untuk menyediakan dananya.


Isa menegaskan, Bapepam-LK tidak akan mencabut izin usaha Bakrie Life agar tetap memiliki akses pengawasan ke perusahaan itu. Namun, izin Bakrie Life kemungkinan besar tetap akan dicabut setelah kasus tuntas. “Sekarang status usahanya adalah dibekukan. Tapi jangan dibayangkan setelah Bakrie Life membayar lunas, mereka tetap dibiarkan beroperasi,” tukas dia. (grc)