Jumat, 04 November 2011

BI Akan Batasi Maksimal Bunga Kartu Kredit


BI Akan Batasi Maksimal Bunga Kartu Kredit

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) akan membatasi bunga kartu kredit seperti yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK). PBI tersebut segera dikeluarkan pada akhir November 2011 dan bakal berlaku pada 1 Januari 2013, serta 1 Januari 2015 untuk poin tertentu.


Gubernur BI Darmin Nasution menegaskan, sebenarnya yang diatur BI bukanlah semata-mata bunga, melainkan maksimal pengenaan bunga. “Kami akan atur bahwa bunga maksimal sekian, tidak boleh lebih dari itu. Kalau ternyata bunga yang dikenakan kurang dari angka maksimal itu, ya lebih bagus,” kata dia ketika ditemui di BI, Jakarta, Jumat (4/11).


PBI APMK, kata dia, mengatur permasalahan tagihan bunga berbunga yang tidak bisa dikenakan kepada semua orang. Di dalamnya juga terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi terkait pemberitahuan, agar nasabah mengetahui kewajibannya. Sehingga, ketika ditagih, nasabah tidak akan terkejut dan tidak bisa membayarnya.


Saat ini, peraturan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) belum termasuk untuk kartu kredit, melainkan baru memasukkan kredit konsumer KPR dan kredit konsumer non-KPR. Dengan adanya maksimal bunga kartu kredit, BI menegaskan agar para penerbit transparan dan melaporkan kepada nasabah untuk setiap komponen pembentuk bunga, termasuk premi risiko.


Menurut Darmin, nasabah selama ini banyak yang tidak memiliki pengetahuan apapun tentang bagaimana penerbit kartu kredit mengenakan perhitungan bunganya. Sebab itu, tidak ada sistem tawar-menawar, melainkan hanya mengisi formulir dan menandatanganinya. Hal itu berbeda dengan pengajuan kredit lainnya yang bisa terjadi negosiasi mengenai suku bunga.


“Jadi ya kami atur maksimal bunganya berapa. Itulah gunanya pengatur atau regulator,” ujar dia.


Menurut Darmin, rata-rata bunga kartu kredit di pasar saat ini, yaitu 3,5%-3,75% per bulan, dinilai terlalu tinggi oleh BI. Padahal, banyak nasabah yang tidak mengetahui apa-apa tentang itu. Dia mensinyalkan, bunga kartu kredit yang cukup wajar berada di sekitar 2%-3%.


PBI APMK juga bakal menetapkan pembayaran atau cicilan minimal (minimum payment) sebesar 10%, kendati kisaran di pasar saat ini di bawah itu. Dia mengakui, terdapat bank yang menilainya terlalu tinggi. Terkait denda atas keterlambatan pembayaran juga bakal diatur di situ.


Menurut Darmin, kendati PBI APMK lebih ketat dibandingkan peraturan pada 2009, BI tidak melihat bahwa industri akan tertekan. Bank sentral, kata dia, menginginkan pertumbuhan kartu kredit yang baik dengan aturan main yang cukup jelas.


“Kami yakin, dengan adanya maksimal bunga, itu dapat mendongkrak pertumbuhan. Kami memilih pertumbuhan yang masuk akal, tapi lebih safe bagi semua pihak, ketimbang pertumbuhan berlebihan namun safety-nya kurang diatur,” jelas dia.


Direktur Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran BI Ronald Waas menambahkan, selain turut mengatur tentang kartu kredit syariah, PBI APMK juga akan sepaket dengan PBI Alih Daya (Outsourcing), karena terkait dengan sistem penagihan yang selama ini menggunakan jasa pihak ketiga. Saat ini, PBI APMK masih ditinjau secara legal oleh Direktorat Hukum BI.


Setelah dikeluarkan pada akhir November 2011, PBI APMK akan melarang penggunaan kartu kredit untuk pemberian kredit tanpa agunan (KTA) per 1 Januari 2012. Sedangkan terkait peraturan secara umum serta penggunaan SMS alert untuk pemberitahuan transaksi yang tidak sesuai profil, berlaku pada 1 Januari 2013.


BI kemudian mewajibkan seluruh kartu kredit menggunakan personal identification number (PIN) pada 1 Januari 2015, sehingga tidak lagi menggunakan tanda tangan yang cenderung mudah dipalsukan.


Syarat Penting

Ronald mengatakan, PBI APMK juga mengatur minimal penghasilan yang dianggap layak (eligilble) menerima kartu kredit, yaitu Rp 3 juta per bulan. Nasabah tersebut maksimal memiliki kartu dari 2 penerbit. Dengan kata lain, nasabah dapat memiliki dua kartu dari 1 penerbit dengan prinsipal berbeda (Master dan Visa), sehingga totalnya maksimal 4 kartu dari kedua penerbit.


Sedangkan plafon maksimal 3 kali gaji minimum atau di bawah Rp 10 juta. Jika plafon mencapai lebih dari Rp 10 juta, BI menyerahkannya kepada pertimbangan bank penerbit kartu untuk assesment risikonya.


Di sisi lain, General Manager Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Marta mengatakan, pihaknya sudah membahas terkait pengenaan bunga tersebut bersama BI, namun memang tidak spesifik mengenai besarannya. Industri, kata dia, telah setuju untuk pengaturan bunga, sehingga akan menyerahkan planning penurunan suku bunga.


“Bunga yang kami tawarkan, tidak jauh berbeda dengan yang ditawarkan,” ujar dia.


Sedangkan terkait plafon, AKKI sempat menawarkan maksimal plafon 3 kali dari Upah Minimum Regional (UMR). Namun, ternyata BI menetapkan Rp 3 juta sebagai ukuran yang layak. Sedangkan terkait pembatasan jumlah kartu, AKKI juga sempat menginformasikan kepada BI terkait sulitnya mekanisme dengan infrastruktur yang ada.


“Namun kami akan lihat lagi, agar comply dengan aturan tersebut,” kata dia.


Steve menilai, jika dilihat dari sisi perkembangan bisnis kartu kredit, PBI APMK memang cenderung memperketat dan menyulitkan. Namun, menurut dia, harus dilihat dari dua sisi. Sebab jika industri tidak memberikan batasan dan memberikan kartu kredit kepada siapa saja, pada akhirnya akan meningkatkan kredit macet. (grc)


Rabu, 02 November 2011

Bunga Turun, Kabar Baik Bagi Debitur KPR


JAKARTA – Masih terbukanya peluang untuk kembali turunnya suku bunga acuan (BI rate) karena rendahnya inflasi, bahkan deflasi pada Oktober 2011, membuat perbankan siap menurunkan bunga. Pada saat yang sama, pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) di bank-bank cukup tinggi.


Berdasarkan Survei Perbankan Triwulan III-2011 yang dirilis Bank Indonesia (BI), suku bunga kredit konsumsi rupiah telah mengalami penurunan dari 16,51% pada triwulan II-2011, menjadi 14,99%. Spread bunga kredit konsumsi juga telah menurun dari 10,42% menjadi 8,95%.


Kendati bankir memperkirakan bunga kredit konsumsi meningkat kembali menjadi 15,12% dan spread menjadi 9,03% pada triwulan IV-2011, ekspektasinya cukup positif. Sepanjang 2011, bankir memperkirakan pertumbuhan kredit properti residensial dan komersial secara year on year (yoy) masing-masing dapat mencapai 25,7% dan 18,9%.


BI juga mencatat ekspektasi penyaluran kredit tahun 2011 di mata bankir juga dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap kondisi makro perekonomian. “Serta kebijakan suku bunga kredit oleh perbankan atau alasan makro,” tulis BI seperti dikutip Investor Daily di Jakarta, Rabu (2/11).


Pengamat perbankan dari Strategic Indonesia Jos Luhukay mengatakan, kemungkinan turunnya BI rate masih tinggi dan bisa dinilai menggembirakan oleh ekonomi domestik. Menurutnya, setiap potongan (cut) terhadap bunga di saat ekonomi masih kondusif, bakal berdampak positif dan mengalihkan dari dampak krisis terhadap kinerja ekspor.


Berdasarkan pengamatan Investor Daily, sejumlah bank juga telah menurunkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) pada periode September 2011, kendati tidak terlalu signifikan. Namun, beberapa bank tertentu melakukan penurunan SBDK cukup besar, terutama untuk KPR.


Sebagai contoh, per Juni 2011, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mematok SBDK untuk KPR di level 9,50%. Pada 31 Oktober 2011, BCA mengumumka SBDK KPR-nya menjadi 7,50%. Tidak hanya KPR, BCA menurunkan SBDK kredit konsumer non-KPR hampir sebesar 200 basis points (bps) dari 10,05% pada Juni 2011 menjadi 8,64%.


Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan, pihaknya memang sengaja meneruskan program KPR berbunga fixed 7,5% untuk 1-2 tahun hingga Desember 2011 dari sebelumnya September 2011. “Kami akan stop dulu pada akhir tahun dan kembali ke rate normal, namun kami akan menggenjot KPR kembali pada Februari 2012 atau hari ulang tahun BCA,” kata dia.


Penurunan SBDK KPR juga dilakukan oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) dari 11,90% menjadi 11,80% per 30 September 2011. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI), pada periode yang sama juga menurunkan SBDK KPR dari 11,49% menjadi 11,07%.


Tidak ketinggalan, bank campuran seperti PT ANZ Panin Bank dengan segmen menengah ke atas, turut menurunkan SBDK KPR-nya dari 12,27% menjadi 10,68%. Penurunan yang cukup signifikan sebesar 1,59% tersebut terjadi per 7 Oktober 2011.


Direktur Utama BNI Gatot Mudiantoro Suwondo mengatakan, kebutuhan untuk KPR masih sangat besar dan kondisinya masih jauh dari bubble. Pasalnya, mayoritas debitur KPR di BNI merupakan pembeli rumah pertama (first buyer).


BNI memang mengandalkan pertumbuhan KPR-nya melalui produk KPR BNI Griya, dengan porsi terbesar dari seluruh kredit konsumsi, yaitu 56%. Hingga kuartal III-2011, pertumbuhan KPR BNI Griya tercatat sebesar 49,6% dari Rp 10,82 triliun menjadi Rp 16,20 triliun.


Begitu pula yang terjadi di BRI, dimana KPR menjadi kontributor terbesar terhadap pertumbuhan kredit konsumernya. Hingga kuartal III-2011, pertumbuhan KPR BRI mencapai 29,5% menjadi Rp 7,95 triliun. Menurut Direktur Utama BRI Sofyan Basir, persaingan di KPR memang cukup tinggi.


“Tapi komitmen kami terus jalan untuk KPR dan kredit properti secara umum. Sebab di sisi lain ada pengembangan infrastruktur yang tidak berhenti, aehingga kebutuhan untuk rumah selalu meningkat,” kata Sofyan. (grc)


Selasa, 01 November 2011

Akhir Tahun, Perbankan Berebut Dana Murah


JAKARTA – Industri perbankan mulai gencar melakukan promosi untuk menghimpun dana murah menjelang akhir tahun serta menyambut awal tahun 2012. Namun, persaingan itu terkadang masih sangat timpang antara ukuran (size) setiap bank, bahkan dinilai cenderung tidak sehat.


Direktur Keuangan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) Yap Tjay Soen mengatakan, semua bank memang menginginkan kondisi yang baik pada akhir tahun. Sebab itu, aktivitas penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), terutama dana murah sudah pasti meningkat.


“Semua bank ingin tutup buku akhir tahun dengan potret keluarga yang menarik. Selain itu, ada libur-libur panjang yang dimulai di pertengahan Desember. Jadi kalau ada aktivitas berlebih pada akhir tahun ini cukup logis,” kata Yap kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (1/11).


Kendati demikian, BNI tetap menggenjot program promosi untuk produk tabungannya, yaitu Rejeki BNI Taplus secara konsisten sejak awal tahun. Direktur Konsumer BNI Darmadi Sutanto mengatakan, program itu sudah berlaku selama 8 bulan sejak Mei 2011 hingga Desember 2011.


Berdasarkan pantauan Investor Daily, sejumlah bank besar dan menengah gencar mempromosikan produk tabungannya, dengan diiming-imingi hadiah. Rejeki BNI Taplus sendiri menawarkan hadiah undian mobil dengan pengumpulan poin berlaku setiap bulan jejak Mei 2011 dan diundi pada pertengahan Januari 2012.


PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Central Asia Tbk (BCA) juga menggenjot tabungan melalui program Mandiri Fiesta dan Gebyar Tahapan BCA. Periode II Mandiri Fiesta telah dimulai Oktober 2011 hingga Desember 2011, sedangkan Gebyar Tahapan BCA sejak April 2011 hingga Desember 2011.


Tidak ketinggalan, PT Bank OCBC NISP Tbk menargetkan sekitar Rp 200 miliar dana murah yang bisa diraup dari 20 ribu nasabah melalui tabungan TANDA 360° hingga akhir 2011. PT Bank Permata Tbk (PermataBank) juga baru meluncurkan program tahap keempat Permata Famillionaire dari 1 November 2011 hinga 29 Februari 2012.


“Target kami dalam sebulan program tabungan ini dapat menambah sekitar 25 ribu-30 ribu nasabah baru. Dalam sebulan, nilainya bisa mencapai Rp 1-1,5 triliun,” kata Direktur Retail Banking PermataBank Lauren Sulistiawati.


Tidak Sehat?

Di sisi lain, sejumlah bank yang tergolong menengah dan kecil berupaya dengan keras dalam meraih dana murah. Selama ini, bank kecil masih didominasi oleh dana mahal (deposito), sehingga bunga simpanan di kelompok bank itu masih cukup tinggi.


Presiden Direktur PT Bank Mayapada Indonesia Tbk Haryono Tjahjarijadi menilai, bank besar dan bank asing memang agresif dalam melakukan promo khusus menjelang akhir tahun. Bahkan, bank besar, kata dia, memberikan insentif hingga 3% di atas bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).


“Jadi, bukannya dana murah yang dihimpun, justru mereka menghimpun dana mahal. Namun, Bank Indonesia (BI) tidak melakukan tindakan tegas terhadap bank-bank yang melakukan itu,” tutur Haryono.


Menanggapi pernyataan tersebut, Kepala Biro Hubungan Masyarakat BI Difi Ahmad Johansyah menegaskan, keluhan tersebut tetap akan dipertimbangkan. BI, kata dia, belum akan memanggil bank-bank yang ditengarai memberi insentif tersebut. Kendati demikian, bank sentral menurutnya sudah lama mendapat kabarnya.


“Kami masih mempelajarinya dan mengumpulkan fakta-fakta yang ada terlebih dahulu,” imbuh Difi.


Sedangkan bankir bank kecil lainnya, seperti Presiden Direktur PT Bank Ganesha Tbk Hendri Wirjakusuma dan Presiden Direktur PT Bank Capital Tbk Nico Mardiansyah menilai, bank-bank kecil memang harus mengantisipasi kondisi persaingan yang ketat dengan bank-bank besar. Sebab itu, bank kecil juga giat dalam mempromosikan produk, juga dengan berbagai hadiah.


Namun, Presiden Direktur PT Bank Jasa Jakarta Lisawati mengatakan, pihaknya tidak pernah gencar berpromosi program tabungan, karena harus diseimbangkan dengan penyaluran kredit. “Kami juga sudah punya captive market yang setia,” ujar dia. (grc)


Kamis, 02 Juni 2011

Otoritas Perbankan Luar Negeri Masih Diskriminatif


JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mengakui bahwa otoritas perbankan di luar negeri masih memperlakukan perbankan asal Indonesia dengan sikap berbeda, ketika perbankan Indonesia hendak membuka cabang di negerinya. BI berupaya terus meningkatkan resiprokalitas melalui nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU).


“Kita perlu MoU dengan beberapa negara yang banknya ada di sini, sebab terkadang ketika bank nasional ingin membuka cabang di sana, otoritasnya kurang up to date dengan perkembangan ekonomi di Indonesia,” kata Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad di Jakarta, Rabu (1/6).


Dia menjelaskan, MoU dibutuhkan agar terdapat kesepahaman dari otoritas perbankan di negara yang dituju, bahwa ekonomi Indonesia sudah baik dan hampir mencapai investment grade. Otoritas di luar negeri, kata dia, masih menggunakan data-data lama yang menggambarkan Indonesia masih memiliki perekonomian yang dilanda krisis seperti di masa lalu.


Hal itu menyebabkan otoritas luar negeri bersikap diskriminatif terhadap perbankan asal Indonesia, sehingga persyaratannya lebih berat ketika ingin membuka cabang. Sebagai contoh, kata Muliaman, terdapat suatu negara yang mewajibkan perbankan Indonesia untuk mencadangkan modal dengan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan perbankan asal negara lainnya.


“Padahal apa bedanya? Sekarang perekonomian kita sudah tidak krisis. Rupanya peraturan di luar negeri itu merupakan desain kebijakan pasca-krisis dahulu, ketika kita dianggap masih berisiko,” jelas Muliaman.


Dia mengatakan, BI telah melakukan MoU dengan sejumlah negara di Asia, yaitu Filipina, Malaysia, Singapura, dan Tiongkok. Selanjutnya, BI berharap bisa melakukan MoU dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa seperti Inggris.


Sementara itu, Muliaman juga memandang penting atas wacana BI untuk melakukan ring fencing, yaitu mewajibkan Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) untuk nantinya berbadan hukum Indonesia atau menjadi Perusahaan Terbatas (PT). Hal itu terkait dengan status KCBA yang sulit berada di tataran definisi yang sama dengan kewajiban permodalan bank pada umumnya.


“KCBA itu modalnya tidak terlalu jelas karena bentuknya adalah cabang. Sebab itu, ketika kami pernah melarang mereka untuk tidak bermain derivatif, agak sulit,” jelas Muliaman. (grc)


Kamis, 26 Mei 2011

Fit and Proper Test Tentukan Nasib Bankir


JAKARTA – Nasib seorang bankir ditentukan sepenuhnya pada saat uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), sehingga Bank Indonesia (BI) meminta bankir untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan profesinya. Pasalnya, jika tidak lulus, bankir terancam tidak boleh terjun ke industri perbankan, bahkan hingga 20 tahun.


“BI sudah tidak punya daftar hitam lagi, tapi fit and proper test menghasilkan status lulus dan tidak lulus. Jika seorang bankir tidak lulus, dia tidak boleh lagi terjun di perbankan sampai batas waktu tertentu, tergantung tingkat kesalahan. Ada yang 1-3 tahun, tapi ada juga yang hingga 20 tahun,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat BI Difi A Johansyah di Jakarta, Rabu (25/5).


Difi mengatakan, pertimbangan pertama dalam fit and proper test adalah track record atau rekam jejak bankir. Jika bankir tersebut terbukti atau terindikasi pernah terlibat dalam kasus pembobolan dana, BI langsung memberi nilai negatif.


Kejahatan perbankan lainnya yang bisa menjegal langkah seorang bankir adalah beritikad tidak baik, pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BPMK), penyalahgunaan kredit, penggelapan dana nasabah, serta pengawasan terhadap anak buah yang buruk. Aspek lainnya yang menjadi pertimbangan BI adalah kompetensi dan integritas, kendati Difi mengakui, aspek integritas sulit diukur.


Citibank dan Bank Mega

Difi mengatakan, terkait fit and proper test sebagai sanksi untuk PT Bank Mega Tbk, BI akan menguji direksi dan komisarisnya, karena tidak mungkin melakukan fit and proper test untuk semua pegawai bank. Namun, terdapat hal yang berbeda dalam fit and proper test Citibank Indonesia, yang juga melibatkan kepala cabang.


“Citibank berbeda karena bank asing, yang memiliki layer berbeda untuk jenjang manajemennya. Di Kantor Cabang Bank Asing (KCBA), tidak ada istilah direksi, melainkan pucuk pimpinan atau eksekutif. Kita lihat siapa saja yang terkait dan penelusurannya bagaimana,” jelas Difi.


Dia mengungkapkan, hingga kini proses fit and proper test Citibank belum selesai, karena BI masih harus melakukan kroscek antara keterangan Shariq Mukhtar (Chief Country Officer/CCO) dengan individu-individu lainnya yang juga diuji. BI telah memanggil empat orang selain Shariq, yaitu yang menjabat sebagai Senior Country Operating Officer, Retail Banking Head, Head of Collection, dan Branch Manager Kantor Cabang Pembantu (KCP) Landmark. Sedangkan Direktur Kepatuhan Jessica Effendi rencananya bakal menyusul. (grc)


Rabu, 06 April 2011

Kasus Pembobolan Dana: BI Hentikan Citibank Himpun Nasabah Prioritas Baru


JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menyatakan telah menghentikan untuk sementara (suspend) penghimpunan nasabah baru di segmen prioritas Citibank Indonesia (Citi Indonesia), yaitu Citigold Wealth Management Banking (Citigold). Hal itu dilakukan sebagai sanksi administratif atas kasus pembobolan dana nasabah senilai Rp 17 miliar oleh seorang relationship manager (RM) bernama Melinda Dee (MD) alias Inong Malinda.


“Kami sudah melakukan berbagai tindakan untuk mengkaji masalah ini, termasuk mengenakan sanksi. Saat ini Citigold sudah di-suspend untuk penghimpunan nasabah baru. Namun nasabah lama dan transaksinya tetap berjalan,” kata Gubernur BI Darmin Nasution dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Rabu (6/4).


Vice President Customer Care Citi Indonesia Hotman Simbolon mengakui, pihaknya memang sudah menghentikan penghimpunan nasabah baru Citigold sesuai permintaan BI. Selain karena adanya praktek kolusi untuk membobol dana nasabah, sanksi tersebut juga diberikan atas kelalaian Citi Indonesia melakukan rotasi untuk karyawannya. Berdasarkan permintaan BI, bank harus melakukan rotasi secara berkala untuk menghindarkan potensi fraud.


“Memang kami tidak melakukan rotasi RM kami, karena sangat tidak mudah memindahkan portofolio nasabah dari RM satu ke RM lainnya. Selain itu, banyak nasabah yang ditangani MD tidak bersedia dipindahkan ke RM selain MD,” jelas Hotman.


Darmin mengatakan, suspend tersebut belum diketahui kapan akan dicabut, karena masih menunggu hasil review BI dan penyelidikan pihak Kepolisian. Jika ditemukan bukti-bukti lainnya yang semakin memberatkan, kata dia, sanksinya bisa berbeda dan bisa lebih berat. Sebagai contoh, pencabutan izin bisnis private banking/priority banking.


BI juga telah memanggil Chief Country Officer Citi Indonesia Shariq Mukhtar dan pejabat-pejabat terkait. Selain itu, surat pembinaan atau teguran juga telah diberikan agar tidak kembali merugikan nasabah. Dalam surat itu, BI juga meminta Citi Indonesia melakukan perbaikan internal control, sekaligus meminta penghentian penghimpunan nasabah prioritas baru.


“Kasus di Citibank ini terjadi terutama karena tidak bekerjanya internal control. Supervisi oleh atasan juga tidak optimal. Mereka juga tidak mengimplementasikan rotasi karyawan secara berkala. Selain itu, dual control tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan informasi yang baik kepada nasabah tidak berjalan,” papar Darmin.


Deputi Gubernur BI S Budi Rochadi dan Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah sama-sama menegaskan bahwa, jika terbukti melanggar ketentuan yang berlaku, manajemen Citi Indonesia bisa di-fit and proper test ulang. Namun Halim telah mengakui, terdapat prosedur yang dilompati dalam kasus transfer dana tersebut. Hal itu berarti terjadi penyalahgunaan wewenang oleh MD.


Terkait pengawasan BI secara umum terhadap individu bank masing-masing, kata Darmin, salah satu potensi risiko yang perlu dicermati adalah operasional, terutama standard operational procedure (SOP), sumber daya manusia (SDM), dan sistem informasi. “Untuk pengawasan terhadapnya, terutama perilaku pegawai dan kelemahan SOP, secara berkala BI me-review hasil assesment terhadap laporan pihak audit internal bank maupun eksternal, yaitu kantor akuntan publik,” jelas Darmin.


Priority Banking Rawan

Sebelumnya, Peneliti Eksekutif Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) BI Ahmad Berlian mengatakan, priority banking memang cukup rawan karena dalam segmen itu, nasabah menuntut kemudahan, sehingga menimbulkan peluang untuk berbuat kejahatan. Sebab itu, BI tengah melakukan kajian untuk menetapkan guidelines bagi segmen tersebut.


“Banyak hal yang harus disempurnakan, apakah membatasi jumlah RM, memberikan edukasi lebih banyak kepada nasabah, atau transparansi produk-produk yang ditawarkan. Setiap orang harus sadar apa yang dia beli dan bank wajib men-declare tingkat risikonya,” jelas Ahmad.


Dia juga tidak memungkiri potensi segmen tersebut digunakan sebagai pencucian uang (money laundering), kendati BI telah mengaturnya dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang anti pencucian uang dan pembiayaan terorisme. Namun, kata Ahmad, justru banyak pelaku pencucian uang yang tidak memilih segmen priority banking dan lebih memilih segmen perbankan biasa. (grc)


Citibank Akui Banyak Terima Aduan Soal Debt Collector



JAKARTA – Citibank Indonesia (Citi Indonesia) mengakui banyak menerima pengaduan dari nasabah karena diperlakukan tidak baik oleh jasa penagih (debt collector). Dalam sebulan, Citi Indonesia mendapat minimal 10 pengaduan nasabah.


“Dalam sebulan, berdasarkan statistik kami, rata-rata terdapat 10 laporan. Dalam setahun terdapat 120 laporan,” kata Vice President Costumer Care Citi Indonesia Hotman Simbolon dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Rabu (6/4).


Hotman mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti lebih jauh jika terdapat laporan dari nasabah. Jika dalam laporan tersebut terdapat pengaduan soal tindakan kekerasan, Tim Independen Citibank juga melakukan penyelidikan. Hotman menambahkan, Citi Indonesia selalu melakukan edukasi kepada masyarakat tentang kartu kredit dan menyarankan agar nasabah selalu melaporkan pengaduan ke costumer care jika debt collector tidak beretika ketika menagih.

Pada kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution menegaskan, pihaknya telah bertemu dengan Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) dan bank-bank penerbit kartu kredit untuk meninjau ulang apakah penggunaan debt collector memang diperlukan. Dia juga mengatakan, jika nasabah masih dalam kolektibilitas tahap pertama, debt collector tidak boleh digunakan.


Darmin menambahkan, jika terjadi sesuatu yang melanggar hukum, tanggung jawab terdapat pada bank penerbit kartu. Namun, terkait kasus Citibank, bank sentral masih melihat pelanggaran pastinya.


“Perlu kita bedakan apakah kejahatan ini merupakan institusional atau hanya dilakukan oleh segelintir orang. Kita masih harus mengecek itu secara lebih detil, jadi tidak bisa terburu-buru memberikan jawaban,” kata Darmin.


Darmin menegaskan, BI bersama AKKI tengah menyusun standarisasi penggunaan jasa pihak ketiga (outsourcing) oleh perbankan untuk melakukan penagihan kartu kredit. Dalam standarisasi tersebut, nantinya akan dijelaskan secara lebih rinci hal-hal apa saja yang dapat dan tidak boleh dilakukan. Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang sekarang, kata dia, memperbolehkan penggunaan pihak ketiga namun tidak mengaturnya secara rinci.


“Kita juga terus bekerja sama dengan Kepolisian dan komunikasinya terus berjalan setiap saat,” imbuh dia.


Penutupan Dipersulit

Sementara itu, General Manager AKKI Steve Marta mengakui, hingga kini masih banyak pemegang kartu kredit yang mengaku dipersulit ketika hendak menutup kartunya. Menurut dia, hal itu terjadi karena bank mencoba mempertahankan nasabah yang telah sulit didapat. Selain itu, bank masih melihat biaya penutupan kartu itu cukup mahal. Namun, Steve menegaskan, nasabah tetap memiliki wewenang untuk menutup kartu kreditnya setelah melunasi kewajibannya.


“Jika merasa berat, lebih baik nasabah menyetop penggunaan kartunya selama satu bulan setelah lunas, kemudian langsung ditutup. Jadi, dalam jangka waktu satu bulan itu, tidak ada transaksi sehingga tidak ada tagihan baru yang muncul,” jelas Steve.


Dia juga tidak memungkiri terdapat nasabah yang oportunis, yaitu sengaja membuka kartu kredit untuk keperluan sesaat dan menutupnya tidak lama kemudian. Tren penutupan lainnya, kata dia, juga dilakukan oleh orang yang lebih selektif terhadap promo-promo yang ditawarkan. Selain itu, para pemegang kartu yang sangat banyak juga ingin mengurangi jumlah kartunya.


Sementara itu, BI bersama AKKI juga tengah meninjau tentang minimum income yang menjadi persyaratan pembukaan kartu kredit. Menurut ketentuan umumnya, minimum income adalah tiga kali dari Upah Minimum Regional (UMR). Analis Eksekutif Direktorat Akuntansi dan Sistem Pembayaran (DASP) BI Puji Atmoko mengatakan, contoh kasus yang dipelajari adalah seperti di Malaysia.


Puji juga mengatakan, hal lain yang ditinjau adalah pengenaan bunga kartu kredit. Rata-rata saat ini bunga yang dikenakan di pasar sekitar 3-3,5% per bulan. “Dalam pertemuan dengan AKKI, soal bunga ini juga termasuk yang diminta untuk dipikirkan. Selain itu, penerbit kartu juga perlu mensosialisasikan perhitungan bunga agar tidak memberatkan masyarakat dan bank juga tidak kehilangan keuntungan,” jelas Puji. (grc)


Maret, BI Tangani 68 Sengketa Nasabah dengan Bank


JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mencatat, hingga minggu ketiga Maret 2011, terdapat 68 kasus yang masuk sebagai permohonan mediasi yang diajukan nasabah. Kasus terbanyak mencapai 40 kasus dan terkait dengan penyaluran dana atau masalah Kredit Tanpa Agunan (KTA).


Ketua Tim Mediasi Perbankan Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan BI Sondang Martha Samosir memaparkan, selain penyaluran dana, sebanyak 21 kasus menyangkut sistem pembayaran, 4 kasus di penghimpunan dana, 1 kasus di produk kerja sama, 1 kasus di produk lainnya, dan 1 di luar permasalahan produk perbankan.


“Permasalahan di luar produk perbankan itu salah kamar atau tidak masuk dalam industri perbankan,” jelas Sondang dalam pertemuan dengan wartawan di Jakarta, Selasa (5/4).


Sondang mengatakan, tren peningkatan di awal tahun tersebut terutama terjadi di produk KTA. Nasabah, kata dia, banyak meminta restrukturisasi KTA-nya kepada bank melalui penggunaan pengacara jalanan (street lawyer).


Sedangkan hingga Desember 2010, BI mencatat total sebanyak 278 kasus yang ditangani. Dari jumlah tersebut, paling banyak terjadi di sistem pembayaran hingga 148 kasus. Sisanya berupa 86 kasus penyaluran dana, 36 kasus penghimpunan dana, 4 kasus di luar permasalahan produk perbankan, 3 kasus di produk lainnya, dan 1 kasus di produk kerja sama.


Pada 2009, BI mencatat terdapat 231 kasus mediasi perbankan dan terbanyak berasal dari sistem pembayaran, yaitu 88 kasus. Sisanya sebanyak 79 kasus di penyaluran dana, 23 kasus di penghimpunan dana, 20 kasus di produk lainnya, 11 kasus di luar permasalahan produk perbankan, dan 10 kasus di produk kerja sama.


Sondang mengatakan, dalam mengajukan permohonan mediasi, nasabah harus memiliki itikad baik atau bukan berniat mengemplang utang. Nasabah dapat mengajukan mediasi kepada BI bila tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari bank setelah 40 hari kerja. “Nasabah bisa melakukan banding atau mediasi ke BI dengan sejumlah persyaratan tertentu,” ujar dia.


Mediasi tersebut difasilitasi oleh BI dan dikandung dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/1/2008 tentang Mediasi Perbankan. PBI tersebut mengatur tentang penyelesaian sengketa perbankan dengan cara sederhana, gratis, dan cepat. Jika nasabah tidak puas atau mediasi menemukan jalan buntu, nasabah dapat mengalihkan kasusnya ke arbitrase atau pengadilan.


Surcharge Kartu Kredit

Pada kesempatan yang sama, Analis Eksekutif Tim Pengaturan Sistem Pembayaran dari Direktorat Akuntansi dan Sistem Pembayaran (DASP) BI Puji Atmoko mengatakan, bank sentral sebenarnya melarang pedagang (merchant) mengenakan tambahan biaya (surcharge) terhadap transaksi pembayaran melalui kartu kredit. Prinsipal (seperti Mastercard dan Visa) bersama bank-bank penerbit kartu kredit juga telah melarangnya. Namun, BI masih sering menemukan pengenaan surcharge yang dilakukan merchant.


“Kalau ada surcharge hingga 3% sebenarnya dilarang, namun memang masih ada yang menawarkannya,” ujar Puji.


Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu melarang sejumlah tindakan yang merugikan. Sebagai contoh, tindakan merchant yang merugikan prinsipal, penerbit, acquirer, dan pemegang kartu untuk penipuan. Di situ, pedagang diketahui telah melakukan kerja sama dengan pelaku kejahatan, memproses penarikan atau gesek tunai (gestun) kartu kredit, atau memproses tambahan biaya transaksi.


Puji menjelaskan, pemegang kartu bisa mengklaim surcharge kepada bank penerbit kartu jika merasa dirugikan. Namun, pemegang kartu harus meminta kepada merchant untuk menuliskan rincian harga atau memisah-misahkan komponen harga yang sebenarnya dari surcharge tersebut. BI, kata dia, akan mengenakan sanksi terhadap merchant yang masih nakal dan bisa memasukkannya dalam daftar hitam pedagang (merchant black list) yang disusun kalangan acquirer.


General Manager Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Marta mengatakan, pengenaan surcharge yang dilakukan merchant berawal dari budaya tawar-menawar di Indonesia. Dia melihat, merchant sering menjual barang dengan marjin tipis, sehingga pemegang kartu dikenakan tambahan biaya.


“Kami akan rekomendasikan merchant-merchant yang tidak mengenakan surcharge kepada acquirer dan pemegang kartu,” imbuh Steve. (grc)


https://mail.google.com/mail/images/cleardot.gif