Rabu, 30 Maret 2011

Ekonom: 14 Bank Besar Tetap Kuasai Pasar


JAKARTA – Sebanyak 14 bank besar saat ini menguasai pasar dan kondisi tersebut dinilai akan tetap sama hingga sepuluh tahun ke depan. Pasalnya, bank-bank besar tersebut memiliki pendanaan yang kuat sekaligus biaya dana (cost of fund) yang lebih murah.


“Momentum pertumbuhan perbankan saat ini masih di tangan 14 bank besar. Mereka masih akan menguasai pasar hingga sepuluh tahun ke depan. Sebab, mereka punya funding cost lebih rendah, apalagi lima bank terbesar,” kata Chief Economist and Government Relations Standard Chartered Bank Indonesia Fauzi Ichsan ketika berbincang bersama wartawan di Jakarta, Selasa (29/3).


Fauzi mengatakan, bank kecil hingga kini sulit mendapatkan dana murah, sehingga cost of fund-nya lebih tinggi untuk mendulang nasabah-nasabah besar. Hal itu semakin sulit karena tidak adanya blanket guarantee atau penjaminan dana untuk seluruh nasabah.


“Dahulu ada blanket guarantee, berapa pun nilainya dijamin oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Saat ini cuma sampai Rp 2 miliar saja, sedangkan di atas itu, risikonya tinggi jika ada gagal bayar,” kata Fauzi.


Sebab itu, menurut dia, bank-bank besar masih akan menguasai pasar, kecuali salah satu dari mereka tiba-tiba bangkrut. Bank besar, kata Fauzi, dapat bangkrut jika melanggar manajemen risiko atau terjadi tindak penipuan (fraud) dalam jumlah sangat besar.


Modal Rp 250 Miliar

Pada kesempatan yang sama, Fauzi mengatakan, permintaan agar kredit modal kerja dan kredit investasi semakin bertumbuh, akan sulit jika proyek infrastruktur masih jarang. Selain itu, jika kredit minimal tumbuh 20%, idealnya rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) juga harus mencapai 20%. Pasalnya, jika ekspansi mencapai 20%, namun tanpa dukungan modal yang cukup, CAR bisa anjlok ke 12-10%.


Sebab itu, menurut dia, hanya bank-bank besar yang bisa mendukung dengan permodalan yang cukup. Namun, Fauzi menilai, penambahan modal minimum hingga Rp 200-250 miliar harus dilakukan pada akhir tahun depan, karena kisaran itu cukup ideal. Dia tidak memungkiri, dengan modal yang semakin besar, banyak bank kecil yang terpaksa mengalami merger dan akuisisi.


“Menurut saya, modal minimum bank itu seharusnya Rp 200-250 miliar. Memang konsekuensinya, jumlah bank langsung menciut. Namun, modal minimum itu memang tergantung seberapa besar pertumbuhan kreditnya,” kata dia. (grc)


Dibobol Rp 17 Miliar, Citi Indonesia Ganti Dana Nasabah


JAKARTA – Citibank NA (Citi Indonesia) segera mengganti dana tiga orang nasabah dengan total Rp 17 miliar, setelah dana tersebut dibobol oleh karyawannya sendiri. Karyawan yang berinisial MD (47 tahun) tersebut juga telah diberhentikan oleh perusahaan.


“Kami berkomitmen untuk melindungi kepentingan nasabah, termasuk secepatnya mengembalikan kerugian yang dialami oleh nasabah, secara adil dan tepat waktu. Dana tersebut hilang dari rekening mereka melalui transaksi tidak sah” kata Country Corporate Affairs Head Citi Indonesia Ditta Amahorseya dalam keterangan tertulis yang diterima Investor Daily di Jakarta, Selasa (29/3).


Ditta mengatakan, kejadian tersebut hanya di satu tempat, sehingga pihaknya telah bertindak cepat untuk menghubungi seluruh nasabah yang kemungkinan terkena dampak. Citi Indonesia, kata dia, bekerja sama penuh dengan seluruh pihak berwenang yang terkait.


Ditta juga menegaskan, staf yang terlibat dalam penipuan (fraud) itu, yaitu MD, tidak bekerja lagi di Citi Indonesia. Namun, dirinya tidak bersedia memberikan komentar lebih lanjut, karena kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan.


Seperti diketahui, pada Jumat, 24 Maret 2011, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri) mengumumkan, seorang wanita pegawai Citi Indonesia bernisial MD diduga melakukan kejahatan pidana perbankan. MD melakukan penggelapan uang nasabah bank tempatnya bekerja, senilai Rp 17 miliar. Terdapat tiga orang nasabah yang telah melapor kepada kepolisian.


Dalam dugaan kejahatan itu, penyidik Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri telah menyita sebuah mobil mewah jenis Hummer 3 Luxury Sport Utility putih B 18 DIK, serta sejumlah dokumen yang diduga sebagai bukti pencucian uang (money laundering) yang dilakukan MD. (grc)


Risiko Bank Tinggi: Tren Fraud Risk Cenderung Menurun



JAKARTA – Kalangan perbankan menilai tren risiko penipuan (fraud risk) cenderung menurun saat ini. Kendati demikian, perbankan merupakan bisnis yang dinilai paling berisiko dibanding bisnis lainnya, sehingga memerlukan manajemen risiko yang baik.


Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja dan Direktur Manajemen Risiko PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) Sutanto menilai, risiko penipuan cenderung turun. “Tentunya semua bank mengalami, namun trennya sudah lebih baik di OCBC NISP,” kata Parwati kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (29/3).


Parwati mengatakan, salah satu sisi yang cukup rentan terhadap penipuan menurut pengalaman pihaknya adalah sistem pembayaran, terutama transfer dana dan lainnya.


Sutanto juga mengatakan, penipuan tergolong risiko operasional dan disebabkan oleh unsur manusia, baik internal maupun eksternal. Namun, dia mengatakan, tren fraud di BNI terus menurun dan relatif kecil, karena pihaknya telah melakukan antisipasi melalui berbagai upaya. Di antaranya, kata dia, penerapan program yang disebut dengan Operational Risk Self Assessment (ORSA).


Dia menambahkan, BNI telah menerapkan sistem pengendalian internal yang kuat, misalnya melalui pembatasan wewenang dan jenjang pengawasan yang jelas. Bagi seluruh pegawainya, perseroan memberlakukan code of conduct, bahwa setiap orang mengawasi orang yang lain atau perlu menjadi whistle blower.


Menurut Sutanto, sistem pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang baik melalui reward and punishment dengan tegas, seperti yang dilakukan BNI, merupakan salah satu program yang penting untuk mencegah risiko. Pasalnya, manusia atau SDM merupakan sisi yang paling rentan karena manusia memegang peran.


“Jadi, walaupun sistem pengendaliannya sudah bagus dan kuat, tapi kalau manusianya berniat jahat, ya bisa bobol juga,” imbuh dia.


Sutanto mencontohkan, orang dalam atau pejabat bank dapat melakukan penyalahgunaan kata kunci (password) yang dimiliki masing-masing. Setiap pejabat bank, kata dia, memang memiliki password untuk masuk ke sistem sesuai batas kewenangan mereka. Namun, penyalahgunaan tersebut semakin parah ketika pejabat bank bekerja sama dengan sesama pegawai atau orang luar, misalnya nasabah.


“Walaupun kejahatan ini pasti diketahui dalam waktu singkat, tapi ya bisa kejadian juga,” ujar Sutanto.


Firma dan konsultan keuangan PricewaterhouseCoopers (Pwc) dalam surveinya tahun ini menyimpulkan, sebanyak 27% bankir menilai level fraud risk tahun ini akan turun. Sisanya, 22% memprediksi levelnya akan naik, 51% memprediksi akan sama dengan tahun lalu. Selain itu, 69% telah melakukan fraud risk assesment dalam 2 tahun terakhir.


Sejumlah fraud risk yang dikhawatirkan adalah pemalsuan identitas sebanyak 29% dari responden, persekongkolan karyawan dan nasabah 25%, penipuan internet banking dan ATM 21%, penipuan transfer dana 19%, dan lain-lain 13%.


Survei tersebut memiliki responden bank lokal 31%, bank pemerintah 27%, joint venture 22%, dan foreign 20%. Berdasarkan asset, 38% dari bank beraset Rp 5-20 triliun, 30% dari bank beraset Rp 20-50 triliun, 28% dari bank beraset lebih dari Rp 50 triliun, dan 4% dari bank beraset Rp 0-5 triliun.


Sementara itu, Chief Economist and Goverment Relations Standard Chartered Bank Indonesia Fauzi Ichsan menilai, perbankan merupakan bisnis yang paling canggih namun paling berisiko. Manajemen risiko yang paling baik, bisa saja kebobolan, seperti halnya dialami Bank of England oleh seorang pegawai selama belasan hingga puluhan tahun.


Namun, Fauzi menilai, risiko tertinggi masih terdapat di sisi corporate banking dan pasar keuangan, bukan di sisi ritel. Kasus-kasus besar, seperti L/C di BNI, Bapindo atau kasus Edy Tanzil, serta Bank Century, kata dia, merupakan kasus yang terjadi di perbankan korporasi atau berkaitan dengan debitur besar. Hal itu dinilainya semakin parah karena sistem hukum Indonesia yang masih buruk.


“Sewaktu krisis 1998-1999, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) saja bisa kalah di pengadilan oleh debitur besar yang ngemplang. Bahkan, recovery rate cuma 30%, tidak sampai 100%. Siapa yang membayar kerugiannya? Kita semua (masyarakat),” tutur Fauzi. (grc)


Kamis, 24 Maret 2011

BI: ASEAN Masih Jauh dari Penyatuan Mata Uang


JAKARTA – Bank Indonesia (BI) memperkirakan, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) kemungkinan besar tidak akan dengan mudah melakukan penyatuan mata uang tunggal-regional seperti halnya Uni Eropa dengan mata uang Euro. Pasalnya, wilayah Asia Tenggara sangat beragam dari sisi ekonominya.

“Pekerjaan rumah pertama yang harus dilakukan adalah mengharmoniskan negara-negara ASEAN, sebab heterogenitasnya sangat tinggi. Lihat saja, ekonomi Laos jauh berbeda dengan ekonomi Singapura. Juga ekonomi Indonesia dibanding dengan Kamboja dan lain-lain,” kata Economist and Assistant to the Governor (Staf Khusus Gubernur) BI Haris Munandar kepada Investor Daily di Jakarta, belum lama ini.


Haris mengatakan, negara-negara ASEAN tentunya perlu membenahi inflasi dan kondisi makronya terlebih dahulu. Indonesia sendiri, kata dia, masih perlu mengejar inflasi regional yang jauh di bawah tingkat inflasi nasional saat ini, yaitu sekitar 6-7%.


Sebab itu, kata Haris, harmonisasi antar negara-negara Asia Tenggara perlu dilakukan lebih cepat menuju tahun pembentukan MEA pada 2015. Ketika kondisi-kondisi makro ASEAN sudah kokoh, lanjut dia, belum tentu arahnya menuju pembentukan mata uang tunggal-regional.


“Masih ada sekitar 2-4 tahap lagi yang harus dilalui jika MEA berniat menyatukan mata uang. Selain itu, faktor penting lainnya yang cukup menentukan adalah keputusan politik.


Seperti diketahui, saat ini hanya Euro yang menjadi mata uang tunggal-regional satu-satunya di dunia. Namun, krisis Eropa kemudian dipicu oleh defisit fiskal di Yunani. Hal itu membuat sejumlah ekonom internasional meragukan Yunani dapat keluar dari pusaran krisis jika negara itu bertahan menggunakan Euro. Sebab itu, Yunani dinilai perlu kembali ke mata uang lamanya, yaitu Drachma.


Haris menilai, Yunani bisa saja menggunakan mata uang berbeda untuk shock absorber, sehingga ekspornya terbantu dan kondisi fiskal, seperti pajak, bisa lebih besar. Namun hal ini tidak terjadi karena Yunani sudah terlanjut mematok pertumbuhan ekonomi dan lainnya dengan menggunakan Euro.


Untuk mengukur kondisi makro ekonomi, kata Haris, nilai tukar menjadi resultante-nya sehingga terdapat hasil dari interaksi perdagangan dan aliran modal asing. “Jadi, mata uang tunggal-regional itu harus dijamin oleh kondisi fundamental ekonomi yang baik serta nilai tukar yang stabil, misalnya dengan dolar,” kata dia.


Syarat lainnya untuk penyatuan mata uang, kata dia, kebijakan di negara-negara yang bersangkutan di regional tersebut harus harmonis. Sebab itu, tidak boleh terjadi defisit lebih dari 3% atau jauh dari negara lainnya di kawasan itu. Defisit Yunani, kata dia, sangat jauh dibanding negara-negara Eropa Barat.


Untuk jaminannya, kata dia, harus dibuatkan beberapa peraturan yang dipayungi oleh sebuah institusi yang dikawal bersama. “Untuk Uni Eropa misalnya Maastricht Treaty, yang akhirnya menelurkan Euro dan Masyarakat Ekonomi Eropa. Bank sentral Eropa (European Central Bank) juga menjadi otoritas moneter di zona itu,” imbuh Haris. (grc)


Senin, 21 Maret 2011

Maret Bakal Deflasi: Pemerintah Koordinasikan Pengendalian Inflasi di Daerah


JAKARTA – Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) mengkoordinasikan pengendalian inflasi di daerah terutama untuk harga pangan pokok. Hal itu dilakukan melalui monitoring terhadap potensi gangguan pasokan (suplai). Namun, pemerintah optimis deflasi akan terjadi pada akhir Maret 2011 ini.


“Dalam tim pengendalian harga pangan pokok yang juga dikoordinasikan dengan BI, kami akan bekerja sama juga dengan tim pengendali di daerah. Selain itu, kami juga mulai berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk seluruh Pemerintah Daerah (Pemda), sehingga efeknya ke daerah sangat besar,” kata Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Hatta Rajasa seusai Rapat Koordinasi dengan BI dan sejumlah menteri perekonomian di Jakarta, Senin (21/3).


Hatta mengatakan, monitoring tersebut dilakukan terutama saat terdapat gejolak harga pangan dan transportasi. Melalui koordinasi monitoring dengan seluruh Pemda, gangguan pasokan yang mengakibatkan harga naik pada daerah-daerah tertentu, akan direspon dan dikendalikan dengan cepat oleh pemerintah dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).


Hatta memaparkan, sebesar 77% inflasi nasional disumbang oleh daerah, sehingga umumnya tercatat adanya keterlambatan pasokan ke daerah, baik karena infrastruktur maupun transportasi yang belum memadai. Dia optimistis, pembangunan beberapa jalan rusak bakal segera direalisasikan.


Di sisi lain, pemerintah melihat potensi deflasi pada Maret ini karena laporan harga pangan yang menunjukkan penurunan, terutama pada volatile foods dan beberapa jenis beras. Namun, penurunan harga tersebut dilihatnya belum terjadi pada beberapa jenis pangan karena dipengaruhi harga pangan global.


Sementara itu, Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, fokus terhadap pengendalian inflasi bersama pemerintah dan TPID sangat serius karena berpengaruh terhadap kebijakan moneter. BI, kata dia, ingin memanfaatkan momentum tersebut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan sasaran-sasaran makro lainnya.


Dia juga mengatakan, kecenderungan deflasi pada bulan Maret merupakan hal yang sudah biasa. Pasalnya, musim panen sedang terjadi dan hujan tidak lagi terus-menerus turun. Hal itu terlihat dalam beberapa volatile foods, contohnya cabai-cabaian. Kendati demikian, besarannya masih belum diketahui apakah lebih tinggi dari rata-rata deflasi tahunan.


“Jika deflasinya lebih besar dari deflasi tahun lalu, inflasi year on year (yoy) bisa turun. Namun kalau pun terjadi deflasi, angkanya lebih kecil. Sebab itu, inflasi yoy akan tetap naik,” kata Darmin.


Hal itu diiyakan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan. Menurut dia, deflasi pada Maret 2010 yang lalu tercatat sebesar 0,14%. Jika Maret 2011, angka deflasi tercatat bisa 0,14%, inflasi yoy akan bertahan di angka 6,84% seperti angka inflasi pada Februari 2011. Sebab itu, kata dia, apa pun hasil yang bisa diraih pada Maret 2011, potensi inflasi yoy tetap bisa lebih tinggi dibandingkan yoy Februari.


“Dari perkembangan harga kemarin, trennya masih konsisten terutama untuk cabai serta beras. Tapi untuk inflasi Maret 2011, jika memang ada inflasi, angkanya masih akan lebih kecil daripada Februari 2011, mungkin bisa 0,13%,” papar Rusman.


Darmin mengatakan, pihaknya tetap memfokuskan pemantauan di sisi produksi, sehingga stok di Badan Urusan Logistik (Bulog) benar-benar bisa bertumbuh. Sebab itu, harga beras ke depannya tidak menjadi hal yang utama dalam ekspektasi inflasi. Menurut Darmin, jika stok di Bulog tidak bisa dikumpulkan sesuai jumlah yang diperlukan, kemungkinan inflasi bisa tinggi kembali pada kuartal III-2011.


Pembatasan Subsidi BBM

Sementara itu, Darmin memperkirakan, target inflasi sebesar 5% plus-minus 1% menurutnya sangat tergantung pada pembatasan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium. Tetapi jika rencana itu tidak dilaksanakan atau misalnya hanya ditunda, dia menilai, kemungkinan sedikit mencapai 6% atau sedikit di bawah 6% bisa tercapai.


“Tentu dengan sejumlah upaya yang kita lakukan. Memang kita baru bicarakan inflasi dan infrastruktur, belum sampai di pertumbuhan ekonomi. Tapi kita juga merasa, growth sebesar 6,4-6,5% bisa dicapai di kuartal I ini,” tutur Darmin.


Rusman Heriawan menilai, saat ini adalah waktu terbaik bagi pemerintah untuk memutuskan apakah rencana tersebut jadi dilaksanakan. Pasalnya, ke depan masih banyak potensi inflasi di beberapa bulan tertentu, contohnya tahun ajaran baru dan hari raya Idul Fitri. Jika pembatasan BBM tidak dilakukan dari Maret, April, atau Mei, menurut dia, lebih baik pemerintah tidak melakukannya sama sekali sepanjang tahun ini.


To be or not to be. Sebab ke depan, jegalannya banyak. Ini adalah waktu yang terbaik untuk pemerintah jika harus mengambil keputusan apapun, apakah pembatasan atau peningkatan harga premium,” kata Rusman.


Menurut dia, pengaruh pembatasan BBM ke ekspektasi inflasi cenderung dinamis, kendati dampak inflasinya semakin melebar. Sebab itu, pemeirntah perlu mengukur dengan pasti berapa besar gap antara Premium dan Pertamax yang akan disempitkan. Rusman melihat, perbedaan yang sangat jauh antara Premium dan Pertamax akan membuat migrasi besar-besaran.


“Saya tidak mengatakan moral hazard, tapi orang yang tadinya menggunakan Pertamax bisa kembali ke Premium karena tidak ada larangan. Pertamax sudah Rp 8.700 dan Premium Rp 6.500, itu sudah dua kali lipat dan siapa yang tidak tergoda kembali ke Premium? Tentu kita harapkan ada orang-orang mampu yang berjiwa besar untuk bertahan di Pertamax,” tutur dia.


Jika pemerintah tidak melakukan apapun dalam waktu dekat, Rusman mengkhawatirkan kuota subsidi BBM bisa membengkak. Sebab itu, dia menilai, dari sisi implementasi di lapangan, menaikkan harga premium lebih sederhana dibandingkan pembatasan subsidi. Pasalnya, dampaknya lebih mengena kepada semua orang. Apalagi, tambah dia, jika pemerintah memberikan cashback kepada angkutan umum agar tidak terjadi efek berantai ke harga barang dan jasa yang lain.


Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro meyakini, dampak kebijakan pembatasan subsidi BBM jika jadi dilaksanakan, tidak terlalu besar terhadap inflasi. Proyeksi dinilainya juga masih sama dengan APBN 2011. Namun, dirinya lebih setuju jika pemerintah melakukan penghematan di sisi belanja.


Selain rencana pembatasan BBM, Bambang menilai, administered prices lainnya tidak terlalu besar sumbangannya ke inflasi. Sumbangan pembatasan BBM subsidi terhadap inflasi, kata dia, tidak mencapai separuh inflasi indeks harga konsumen (IHK). “Keseluruhan administered prices itu hanya sekitar 16% dan BBM kemungkinan tidak akan sampai separuhnya. Jika jadi diterapkan, mungkin hanya sekitar 0,3-0,6% sumbangannya,” kata dia. (grc)


Selasa, 08 Maret 2011

Perbankan BUMN Diminta Genjot Dana Murah


JAKARTA – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meminta bank-bank pelat merah untuk menggenjot penghimpunan dana murah, yaitu tabungan dan giro, dibandingkan dana mahal, yaitu deposito. Pasalnya, biaya dana (cost of fund) atau bunga deposito dinilai menjadi salah satu komponen biaya yang mahal.


Cost of fund memang menjadi sumber biaya yang besar. Kami harap dengan penghimpunan dana murah, bank BUMN nantinya bisa meningkatkan efisiensi,” kata Deputi Bidang Usaha Perbankan dan Jasa Keuangan Kementerian BUMN Parikesit Suprapto ketika ditemui di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Senin (7/3).


Parikesit menegaskan, ketika dana murah menjadi sumber dana perbankan dan efisiensi bisa ditingkatkan, suku bunga kredit nantinya juga akan menurun. Pasalnya, target pemerintah adalah bagaimana sektor riil bisa bangkit. Dengan begitu, kata dia, sektor riil membutuhkan dana dengan bunga pinjaman yang rendah.


Menurut Kementerian BUMN, suku bunga kredit korporasi idealnya sekitar 8-9%. Sebab itu, bank BUMN diharapkan bisa saling bersaing untuk menurunkan bunganya hingga single digit. “Kami selalu tekankan supaya bunga kredit bisa turun. Bank BUMN sudah sepakat untuk itu, terutama dengan meningkatkan efisiensi dan saling bersinergi,” jelas Parikesit.


Kementerian BUMN, kata dia, mendukung kebijakan Bank Indonesia (BI) yang mewajibkan bank-bank mengumumkan suku bunga dasar kredit (SBDK/prime lending rate). Sebab, tujuan dari kebijakan tersebut sangat positif bagi perbankan.


Sementara itu, komponen biaya lainnya, misalnya overhead, dinilainya juga terus ditekan oleh bank-bank persero. Dia mengakui, kebutuhan biaya operasional bank BUMN cenderung besar untuk ekspansi cabang dan pengembangan sistem teknologi informasi (TI).


“Tapi untuk awal ‘kan perlu ada dana untuk dibelanjakan atau diinvestasikan, jadi memang awalnya perlu dana besar. Namun nantinya jika sudah berkembang bisa menjadi murah,” jelas Parikesit. (grc)


Setor GWM, Perbankan Masih Sangat Likuid



JAKARTA – Bank-bank yang memiliki rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) yang tidak mencapai batas bawah yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) sebesar 78% meyakini kondisi likuiditas masih cukup baik. Kendati mereka terpaksa membayar tambahan Giro Wajib Minimum (GWM) sebagai penalti, situasi sumber dana dinilai masih cukup likuid.


Wakil Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan, tambahan GWM yang harus dibayar pihaknya sekitar Rp 6 triliun. “Tapi kami masih punya SBI dan term deposit di BI sebesar Rp 65 triliun, jadi sisanya masih ada Rp 59 triliun. Itu masih luar biasa likuid,” kata Jahja kepada Investor Daily di Jakarta, Kamis (3/3).


Menurut Jahja, sebenarnya BCA tidak membayar penalti, melainkan menambah GWM dari dana BCA sendiri yang tersimpan di BI. Namun, besaran bunga insentif GWM sebesar 2,5% setelah bank membayar tambahan GWM sebesar 8% memang lebih kecil daripada bunga SBI sekitar 6,0-6,75%. Hal itu, kata dia, memang tampak seperti penalti.


PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) juga termasuk dalam bank-bank yang harus membayar penalti karena rendahnya LDR. Hingga September 2010, LDR BNI baru mencapai 68%. Chief Financial Officer BNI Yap Tjay Soen mengakui pihaknya membayar tambahan GWM, kendati tidak mengetahui berapa persisnya yang dibayar.


Sebelumnya, Direktur Manajemen Risiko PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Sentot A Sentausa juga mengatakan, pihaknya telah menghitung sekitar Rp 3 triliun tambahan GWM yang harus dibayarkan ke BI. Pasalnya, LDR Bank Mandiri hingga akhir Desember 2010 baru sekitar 66%.


Kendati demikian, Sentot menilai, likuiditas perseroan masih cukup aman, kendati cadangan primer dan sekunder perseroan di luar kredit, dengan ditambah kas mencapai Rp 167,03 triliun.


PT Bank Mega Tbk juga termasuk dalam bank yang LDR-nya masih di bawah 78%, yaitu sekitar 58% pada posisi Februari 2011. Direktur Treasury Bank Mega Sugiharto mengatakan, pihaknya telah menyiapkan sekitar Rp 700 miliar untuk menambah GWM.


Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, kendati terdapat pengurangan likuiditas perbankan untuk menambah GWM, kondisinya tidak ada masalah. LDR, kata dia, telah naik sekitar 77% atau 200 basis poin, sehingga menunjukkan pertumbuhan kredit yang sedikit lebih besar dibanding dana pihak ketiga (DPK).


Menurut Ekonom Mirza Adhityaswara, tidak ada masalah dengan likuiditas karena penambahan GWM tersebut, karena bank-bank yang terkena peraturan itu memiliki likuiditas yang besar. Kenaikan GWM valuta asing kemarin dari 1% menjadi 5%, kata dia, hanya menyerap sekitar US$ 2,5 miliar. “Nah kalau GWM rupiah ini paling hanya sekitar Rp 10-15 triliun,” imbuh dia.


Deputi Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Irwan Lubis mengatakan, peningkatan LDR memang tidak bisa dilakukan secara instan. Namun, BI optimistis bank-bank yang LDR-nya masih di bawah ketentuan masih berupaya untuk mendorong kreditnya. Kemungkinan, kata Irwan, LDR tersebut baru mencapai batas bawah pada setahun-dua tahun ke depan.


Mirza menambahkan, bagi bank-bank yang LDR-nya overheating, seperti contohnya PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) dengan LDR 108%, tidak akan dikenai penalti karena rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) di atas 14%. Selain itu, likuiditas yang overheating itu cenderung ditopang oleh dana dari pasar modal dan oblgiasi.


“Kalau misalnya BTN ditopang oleh Pasar Uang Antar Bank (PUAB) saja tanpa pasar obligasi, itu berbahaya karena tidak ada commited line dan rata-rata tenornya hanya 7 hari bahkan 1 hari. Namun obligasi tenornya jangka panjang hingga 3 tahun dan BTN bisa membiayai kredit pemilikan rumah (KPR) dengan aman karena tidak ada mismatch pendanaan,” kata dia.


Sebab itu, menurut Mirza, LDR yang bagus adalah di kisaran maksimal 90% jika bank-bank tersebut tidak memiliki keistimewaan seperti BTN. Sebab, perbankan perlu menyimpan 10% sisanya untuk dana berjaga-jaga atau menangkal potensi rush nasabah. (grc/epa)