Kamis, 02 Juni 2011

Otoritas Perbankan Luar Negeri Masih Diskriminatif


JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mengakui bahwa otoritas perbankan di luar negeri masih memperlakukan perbankan asal Indonesia dengan sikap berbeda, ketika perbankan Indonesia hendak membuka cabang di negerinya. BI berupaya terus meningkatkan resiprokalitas melalui nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU).


“Kita perlu MoU dengan beberapa negara yang banknya ada di sini, sebab terkadang ketika bank nasional ingin membuka cabang di sana, otoritasnya kurang up to date dengan perkembangan ekonomi di Indonesia,” kata Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad di Jakarta, Rabu (1/6).


Dia menjelaskan, MoU dibutuhkan agar terdapat kesepahaman dari otoritas perbankan di negara yang dituju, bahwa ekonomi Indonesia sudah baik dan hampir mencapai investment grade. Otoritas di luar negeri, kata dia, masih menggunakan data-data lama yang menggambarkan Indonesia masih memiliki perekonomian yang dilanda krisis seperti di masa lalu.


Hal itu menyebabkan otoritas luar negeri bersikap diskriminatif terhadap perbankan asal Indonesia, sehingga persyaratannya lebih berat ketika ingin membuka cabang. Sebagai contoh, kata Muliaman, terdapat suatu negara yang mewajibkan perbankan Indonesia untuk mencadangkan modal dengan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan perbankan asal negara lainnya.


“Padahal apa bedanya? Sekarang perekonomian kita sudah tidak krisis. Rupanya peraturan di luar negeri itu merupakan desain kebijakan pasca-krisis dahulu, ketika kita dianggap masih berisiko,” jelas Muliaman.


Dia mengatakan, BI telah melakukan MoU dengan sejumlah negara di Asia, yaitu Filipina, Malaysia, Singapura, dan Tiongkok. Selanjutnya, BI berharap bisa melakukan MoU dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa seperti Inggris.


Sementara itu, Muliaman juga memandang penting atas wacana BI untuk melakukan ring fencing, yaitu mewajibkan Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) untuk nantinya berbadan hukum Indonesia atau menjadi Perusahaan Terbatas (PT). Hal itu terkait dengan status KCBA yang sulit berada di tataran definisi yang sama dengan kewajiban permodalan bank pada umumnya.


“KCBA itu modalnya tidak terlalu jelas karena bentuknya adalah cabang. Sebab itu, ketika kami pernah melarang mereka untuk tidak bermain derivatif, agak sulit,” jelas Muliaman. (grc)