Rabu, 19 September 2012

Ahli L/C Trade Finance di Indonesia Masih Minim





JAKARTA – Kamar Dagang Internasional atau International Chamber of Commerce (ICC) Indonesia mencatat masih minimnya jumlah pegawai bank dan bankir yang memiliki sertifikat ahli kredit perdagangan internasional (trade finance) khusus Letter of Credit (L/C). Kondisi tersebut menggambarkan latar belakang rendahnya kegiatan ekspor Indonesia selama ini.
 
Ketua Komisi Perbankan ICC Indonesia Herry Hykmanto mengatakan, di Indonesia baru terdapat sekitar 100 orang yang telah memiliki sertifikat bernama Certified Documentary Credit Specialist (CDCS) tersebut.

“Di Tiongkok sudah ada 7.000 orang, kemudian India 2.000 orang, bahkan dengan Bangladesh pun kita masih kalah. Saya khawatir sumber daya manusia (SDM) yang mengerti L/C masih saja terbatas, walaupun Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan diterapkan pada 2015,” kata Herry di Jakarta, Selasa (18/9).

Herry mengatakan, CDCS menjadi patokan dalam perdagangan internasional untuk menentukan apakah bank yang digunakan untuk L/C dapat dipercaya. Jika seorang pegawai bank yang mengurus L/C eksportir asal Indonesia tidak memiliki CDCS, bisa terjadi kemungkinan ditolaknya pembayaran oleh negara tujuan karena dianggap tidak kompeten.

“Saat ini banyak bank yang memperebutkan SDM dengan sertifikat CDCS karena memang masih terbatas jumlahnya. Tapi sayangnya, tidak banyak pimpinan bank yang melihat pentingnya CDCS dimiliki oleh stafnya, karena harus memberikan pelatihan khusus,” kata dia.

Menurut Herry, hambatan utama selain awareness yang minim, yaitu bank cenderung malas untuk mendorong pegawainya mengikuti pelatihan sertifikasi CDCS yang memakan waktu serta dengan harga hingga Rp 8 juta per orang. Di sisi lain, perbankan nasional diharap dapat lebih kompetitif ketika dihadapkan dengan perbankan luar negeri.

Kendati saat ini tren penggunaan L/C dalam trade finance mulai digeser oleh bentuk open account, Herry membantah bahwa CDCS tidak bermanfaat. Pasalnya, di tingkat internasional, penggunaan L/C masih sekitar 45% dan di Indonesia masih lebih dari 60%.

“Berdasarkan survei yang dilakukan di 119 negara dan 229 bank pada 2011 dan awal 2012, trennya akan kembali ke L/C. Ini karena belakangan ada krisis Eropa. Dulu ekspor ke Yunani, kita berani pakai open account. Tapi apakah sekarang berani?” tukasnya.

Herry mengemukakan, pada 2013 aturan praktik standar perbankan internasional (International Standard Banking Practice/ISBP) mulai diterapkan oleh ICC di seluruh dunia. Dalam aturan yang diterima secara internasional tersebut, petugas pengurus L/C  di setiap bank harus memiliki sertifikasi CDCS.

“Kami sudah sampaikan ini ke Bank Indonesia (BI), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), dan Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP) agar sertifikasi ini dapat diwajibkan. Sehingga dalam 3 tahun ke depan, diharapkan sudah ada 1.000 pegawai bank yang memiliki CDCS,” paparnya.

Herry mengungkapkan, pihaknya akan merombak organisasi (ICC Indonesia) agar dapat menggenjot sertifikasi tersebut, termasuk mensosialisasikannya dengan baik kepada eksportir dan importir melalui Kamar Dagang Industri Indonesia (Kadin). Menurutnya, pihak LSPP dan Perbanas sangat menyambut niat ICC Indonesia tersebut.

“Ini sifatnya non profit dan jika sudah siap dari sisi LSPP-nya, bisa ditindaklanjuti sehingga bisa rampung tahun ini,” pungkasnya. (grc)

BRI Rambah Biayai Industri Fashion



JAKARTA – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) mulai serius merambah industri fashion domestik untuk melakukan pembiayaan. Pasalnya, belakangan industri tersebut mulai mencari peluang untuk melakukan ekspor-impor lebih giat.

Sekretaris Perusahaan BRI Muhamad Ali mengatakan, geliat industri fashion semakin meningkat, sehingga menyumbang 0,5% atau sebesar US$ 5 miliar terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2011 yang mencapai sekitar Rp 7.400 triliun.

Ali menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cenderung stabil dan didukung konsumsi yang tinggi, membuat prospek industri fashion semakin berkembang.

“Sebagai bank penyalur kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terbesar di Indonesia, kami sangat concern dengan perkembangan industri fashion di tanah air,” kata Ali dalam jumpa pers Jakarta Fashion Week di Gedung Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (19/9).

Hingga Juni 2012, total penyaluran kredit BRI ke industri fashion telah mencapai sekitar 0,5% dari total kredit sebesar Rp 305 triliun. Sedangkan pada periode yang sama, total penyaluran kredit UMKM, yang termasuk di dalamnya adalah kredit ke industri fashion telah mencapai Rp 231,4 triliun, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 213 triliun.

Melihat perkembangan dunia fashion yang semakin maju, kata Ali, BRI akan mengupayakan seluruh pelaku industri tersebut untuk mendapatkan pembiayaan.

“Tentunya dengan produk pembiayaan beserta keistimewaan yang sesusai dengan kebutuhan para fashionista yang muda, dinamis, dan kreatif,” ujar dia.

Saat ini, lanjutnya, BRI memiliki skim Kredit Usaha Rakyat (KUR) mikro dengan plafon yang cocok untuk industri kecil dan menengah di sektor fashion. Nilai plafonnya dapat mencapai Rp 20 juta, sedangkan KUR ritel mencapai Rp 500 juta.

“Skim ini sangat cocok untuk pelaku bisnis kecil atau ritel yang baru memulai usahanya untuk menguatkan permodalan mereka dalam mengembangkan usaha, sehingga cashflow akan lebih lancar,” papar Ali.

Sedangkan di sisi jenis kreditnya, kata dia, BRI menawarkan produk kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI). KMK dapat membantu kebutuhan keuangan operasional usaha, sedangkan KI untuk pembelian aset penunjang usaha. Sedangkan untuk pengusaha fashion yang telah melakukan ekspor-impor, terdapat fasilitas lainnya seperti L/C (Letter of Credit), KMK ekspor-impor, dan lain-lain.

Selain memberikan pembiayaan, perseroan berupaya memajukan usaha fashion dari debitor yang non bankable hingga menjadi bankable di tingkat mikro, kemudian menjadi ritel dan menengah. Sejumlah layanan yang diberikan yaitu bantuan pemasaran produk debitor secara luas, melalui keikutsertaan pada event besar terkait fashion, baik tingkat domestik maupun internasional.

“Misalnya, kami mengikutkan mitra-mitra kami pada pameran Inacraft yang terbesar di Indonesia, kemudian pameran Adikriya, Jakarta Fashion Week, event-event bazar, event  kebudayaan di berbagai negara, dan lain-lain,” jelasnya.

Ali menambahkan, perseroan turut melatih para debitor untuk membuat laporan keuangan secara sederhana, sehingga memudahkan dalam mengelola keuangan usaha mereka. BRI juga memasang mesin electronic data capture (EDC) pada setiap outlet debitor untuk memudahkan transaksi.  

Sementara itu, Direktur Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan Bustami mengatakan, saat ini kelompok masyarakat menengah di Indonesia mencapai 50 juta orang atau sekitar 30% dari total penduduk. Kelompok tersebut, kata dia, sangat menarik untuk menjadi sasaran produk fashion dalam negeri.

“Kalau tidak kita manfaatkan, negara lain yang akan memanfaatkan. Kita banyak mengimpor fashion, terutama aksesoris, itu mencapai US$ 700 juta pada 2011. Padahal, kita banyak memiliki desainer berbakat yang membutuhkan dukungan seoptimal mungkin. Pada 6 bulan pertama tahun 2012, total ekspor fashion termasuk kosmetik kita mencapai US$ 5,5 miliar ke 20 negara,” paparnya. (grc)

Senin, 13 Agustus 2012

Kerja di Bank Syariah, Harus Ubah Gaya Hidup




Masih minimnya kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia (SDM) atau sumber daya insani di industri perbankan syariah membuat situasi bajak-membajak karyawan terus terjadi.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Bank-Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Achmad K Permana mengatakan, kondisi terbatasnya lulusan khusus ekonomi syariah maupun perbankan syariah membuat bank syariah terpaksa mencari fresh graduate atau karyawan berpengalaman dari bank konvensional.

Namun, seringkali upaya itu masih terkendala oleh banyak hal, termasuk soal perbedaan gaya hidup karyawan yang cukup drastis.

“Banyak karyawan yang segan kerja di bank syariah karena mereka sudah tidak boleh jalan-jalan pakai celana pendek lagi, tidak boleh merokok, tidak boleh pasang foto yang terlalu berani di Facebook. Mereka mau tidak mau memang harus menyesuaikan gaya hidupnya,” tukas Permana dalam Bincang-Bincang Menguak Krisis Sumber Daya Insani di Perbankan Syariah di Jakarta, Senin (13/8).

Permana mengatakan, hal lainnya yang juga dapat membuat para karyawan bank konvensional atau fresh graduate berlatar belakang konvensional tidak berminat bekerja di bank syariah adalah persoalan remunerasi atau bonus.

Dia menjelaskan, seorang bankir top level di bank konvensional bisa saja meraih total remunerasi hingga ratusan juta bahkan Rp 1 miliar satu tahunnya. Padahal, di sebuah unit usaha syariah, total laba bersih suatu bank saja bisa hanya sekitar Rp 10 miliar per tahun, sehingga tingkat remunerasinya tidak sebanding.

Permana yang juga menjabat Kepala Divisi PermataBank Syariah juga mengatakan, rata-rata anak buahnya berasal dari bank konvensional, tidak terkecuali bank asing.

“Mereka terpikir mencari karier dan pendapatan yang bagus di konvensional. Tapi saya bilang, di bank konvensional, best sales atau tenaga pemasar paling top itu ada ribuan jumlahnya. Sedangkan di bank syariah paling hanya 2-3 orang. Itu kesempatan bagi mereka,” kata Permana.

Namun, dia mengakui, keputusan orang untuk berpindah pekerjaan adalah sebuah Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga persoalan bajak-membajak masih akan terus ada jika suplai SDM perbankan syariah belum memadai.

ID/Grace Dwitiya Amianti

Senin, 30 Juli 2012

Perbankan Berlomba Terjun ke Kredit Infrastruktur






Oleh: Grace Dwitiya Amianti


NUSA DUA – Kendati merupakan jenis kredit jangka panjang dan nilai plafon serta risikonya cukup tinggi, kredit infrastruktur tetap dilirik oleh perbankan nasional. Bahkan, bank-bank yang sebelumnya tidak memiliki sejarah yang panjang dalam pembiayaan infrastruktur, mulai tertarik untuk terlibat.

PT Bank Central Asia Tbk (BCA) termasuk bank yang sebelumnya tidak terlalu banyak berkecimpung dalam kredit infrastruktur. Namun, kondisi ekonomi yang sedang bertumbuh, ditunjang proyek-proyek pembangunan yang semakin meningkat, membuat bank swasta nasional itu menyatakan ketertarikannya untuk turut terlibat.

Direktur Korporasi BCA Dhalia Mansoor Ariotedjo menegaskan, pihaknya tidak bersikap 'pilih-pilih' atau terlalu selektif terhadap proyek-proyek yang layak dibiayai. Menurut dia, perseroan tetap akan membiayai proyek yang memang feasible.

"Yang sudah pasti untuk infrastruktur itu sekitar Rp 2 triliun sampai akhir tahun," ungkap Dhalia seusai penandatanganan kredit sindikasi di Nusa Dua, Bali, Senin (9/7).

Hingga April 2012 yang lalu, total realisasi pinjaman (outstanding) BCA untuk infrastruktur mencapai Rp 23 triliun. Sedangkan nilai yang belum ditarik sebesar Rp 10 triliun.

BCA terlibat dalam kredit sindikasi sebesar Rp 1,73 triliun untuk proyek jalan tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa (Tol Benoa) yang dipelopori PT Jasamarga Bali Tol (JBT), dengan porsi sebesar Rp 200 miliar. Tidak ingin ketinggalan, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) turut terlibat dalam sindikasi tersebut, dengan porsi sebesar Rp 104,3 miliar.

BTN yang notabene pemain utama di pasar Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tertarik untuk masuk ke pembiayaan jalan tol untuk pertama kalinya karena proyek tersebut sangat feasible. Di sisi risiko dan aspek lainnya, perseroan menilai proyek tersebut sudah memenuhi kriteria yang baik.

"Ini dapat meningkatkan kredit investasi jangka panjang. Tapi kami tetap konsentrasi di kredit perumahan, terutama segmen menengah ke bawah atau di bawah harga Rp 1 miliar," ungkap Direktur Konsumer dan Operasional BTN Irman Alvian Zahiruddin.

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) yang selama ini lebih dikenal sebagai bank mikro, belakangan cukup getol menambah komitmen-komitmen kredit untuk infrastruktur. Sebagai contoh, dengan Jasa Marga dan Kereta Api untuk angkutan darat, Angkasapura untuk angkutan udara, dan Pelindo untuk angkutan laut.

"Target kami untuk jalan tol saja kira-kira Rp 2,8 triliun tahun ini. Sudah signing semua, tinggal pencairan saja," ungkap Direktur Bisnis Kelembagaan dan BUMN BRI Asmawi syam.

Dia menjelaskan, BRI hendak masuk ke kredit infrastruktur untuk Angkasapura selanjutnya sebesar Rp 4 triliun dengan sistem sindikasi.Target infrastruktur. Namun, hingga kini sindikasi untuk Kereta Api-lah yang paling besar bagi BRI, yaitu Rp 2 triliun.

Bank yang sudah cukup sering membiayai jalan tol, yaitu PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menegaskan posisi mereka di bidang infrastruktur. Hingga kini, total dana yang dikucurkan BNI untuk membiayai pembangunan jalan tol di seluruh Indonesia sebanyak Rp 4,1 triliun.

Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Riswinandi menegaskan, perbankan tetap memiliki mandat intermediasi namun tetap mengevaluasi apakah proyek-proyek tertentu cukup feasible. Dia menilai, multiplier effectnya cukup besar jika infrastruktur mendapatkan pembiayaan dari bank dan dikembangkan dengan serius.

Hingga Mei 2012, pembiayaan Bank Mandiri di sektor infrastruktur mencapai Rp 29,96 triliun, meningkat 28,6% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 23,29 triliun. Dari portofolio kredit tersebut, pembiayaan untuk pembangunan jalan tol mencapai Rp 10,66 triliun, tumbuh sekitar 6,4% dari penyaluran pada Mei 2011 yang sebesar Rp 10,02 triliun.

Bunga 10%
Sementara itu, enam bank yang terlibat dalam sindikasi untuk proyek pembangunan jalan tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa di Bali mematok bunga kreditnya di level 10% untuk tahap awal.

Sebanyak enam bank, yaitu PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Central Asia Tbk (BCA), PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN), dan PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali, memberikan kredit sindikasi sebesar Rp 1,73 triliun untuk proyek tersebut.

PT Jasamarga Bali Tol (JBT) selaku debitor dan anak usaha PT Jasa Marga (Persero) Tbk menggandeng sebanyak tujuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karya atau yang bergerak di bidang konstruksi.

“Untuk bunganya 10 persen pada masa konstruksi, setelah konstruksi selesai, bunga sebesar average time deposit (rata-rata bunga deposito) plus 5 persen. Sedangkan tenornya 15 tahun dengan masa tenggang (grace period) 3 tahun,” kata Direktur Utama JBT Akhmad Tito Karim dalam jumpa pers seusai penandatanganan kerja sama di Nusa Dua, Bali, Senin (9/7).

Dari kredit sindikasi tersebut, tiga bank menjadi joint lead mandated arrangers, yaitu BNI, BRI, dan Bank Mandiri dengan kredit masing-masing sebesar Rp 445 miliar. Kemudian BCA menyalurkan Rp 200 miliar, BTN Rp 104,3 miliar, dan BPD Bali Rp 100 miliar. (grc)