Rabu, 06 April 2011

Maret, BI Tangani 68 Sengketa Nasabah dengan Bank


JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mencatat, hingga minggu ketiga Maret 2011, terdapat 68 kasus yang masuk sebagai permohonan mediasi yang diajukan nasabah. Kasus terbanyak mencapai 40 kasus dan terkait dengan penyaluran dana atau masalah Kredit Tanpa Agunan (KTA).


Ketua Tim Mediasi Perbankan Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan BI Sondang Martha Samosir memaparkan, selain penyaluran dana, sebanyak 21 kasus menyangkut sistem pembayaran, 4 kasus di penghimpunan dana, 1 kasus di produk kerja sama, 1 kasus di produk lainnya, dan 1 di luar permasalahan produk perbankan.


“Permasalahan di luar produk perbankan itu salah kamar atau tidak masuk dalam industri perbankan,” jelas Sondang dalam pertemuan dengan wartawan di Jakarta, Selasa (5/4).


Sondang mengatakan, tren peningkatan di awal tahun tersebut terutama terjadi di produk KTA. Nasabah, kata dia, banyak meminta restrukturisasi KTA-nya kepada bank melalui penggunaan pengacara jalanan (street lawyer).


Sedangkan hingga Desember 2010, BI mencatat total sebanyak 278 kasus yang ditangani. Dari jumlah tersebut, paling banyak terjadi di sistem pembayaran hingga 148 kasus. Sisanya berupa 86 kasus penyaluran dana, 36 kasus penghimpunan dana, 4 kasus di luar permasalahan produk perbankan, 3 kasus di produk lainnya, dan 1 kasus di produk kerja sama.


Pada 2009, BI mencatat terdapat 231 kasus mediasi perbankan dan terbanyak berasal dari sistem pembayaran, yaitu 88 kasus. Sisanya sebanyak 79 kasus di penyaluran dana, 23 kasus di penghimpunan dana, 20 kasus di produk lainnya, 11 kasus di luar permasalahan produk perbankan, dan 10 kasus di produk kerja sama.


Sondang mengatakan, dalam mengajukan permohonan mediasi, nasabah harus memiliki itikad baik atau bukan berniat mengemplang utang. Nasabah dapat mengajukan mediasi kepada BI bila tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari bank setelah 40 hari kerja. “Nasabah bisa melakukan banding atau mediasi ke BI dengan sejumlah persyaratan tertentu,” ujar dia.


Mediasi tersebut difasilitasi oleh BI dan dikandung dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/1/2008 tentang Mediasi Perbankan. PBI tersebut mengatur tentang penyelesaian sengketa perbankan dengan cara sederhana, gratis, dan cepat. Jika nasabah tidak puas atau mediasi menemukan jalan buntu, nasabah dapat mengalihkan kasusnya ke arbitrase atau pengadilan.


Surcharge Kartu Kredit

Pada kesempatan yang sama, Analis Eksekutif Tim Pengaturan Sistem Pembayaran dari Direktorat Akuntansi dan Sistem Pembayaran (DASP) BI Puji Atmoko mengatakan, bank sentral sebenarnya melarang pedagang (merchant) mengenakan tambahan biaya (surcharge) terhadap transaksi pembayaran melalui kartu kredit. Prinsipal (seperti Mastercard dan Visa) bersama bank-bank penerbit kartu kredit juga telah melarangnya. Namun, BI masih sering menemukan pengenaan surcharge yang dilakukan merchant.


“Kalau ada surcharge hingga 3% sebenarnya dilarang, namun memang masih ada yang menawarkannya,” ujar Puji.


Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu melarang sejumlah tindakan yang merugikan. Sebagai contoh, tindakan merchant yang merugikan prinsipal, penerbit, acquirer, dan pemegang kartu untuk penipuan. Di situ, pedagang diketahui telah melakukan kerja sama dengan pelaku kejahatan, memproses penarikan atau gesek tunai (gestun) kartu kredit, atau memproses tambahan biaya transaksi.


Puji menjelaskan, pemegang kartu bisa mengklaim surcharge kepada bank penerbit kartu jika merasa dirugikan. Namun, pemegang kartu harus meminta kepada merchant untuk menuliskan rincian harga atau memisah-misahkan komponen harga yang sebenarnya dari surcharge tersebut. BI, kata dia, akan mengenakan sanksi terhadap merchant yang masih nakal dan bisa memasukkannya dalam daftar hitam pedagang (merchant black list) yang disusun kalangan acquirer.


General Manager Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Marta mengatakan, pengenaan surcharge yang dilakukan merchant berawal dari budaya tawar-menawar di Indonesia. Dia melihat, merchant sering menjual barang dengan marjin tipis, sehingga pemegang kartu dikenakan tambahan biaya.


“Kami akan rekomendasikan merchant-merchant yang tidak mengenakan surcharge kepada acquirer dan pemegang kartu,” imbuh Steve. (grc)


https://mail.google.com/mail/images/cleardot.gif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar