Rabu, 19 September 2012

Ahli L/C Trade Finance di Indonesia Masih Minim





JAKARTA – Kamar Dagang Internasional atau International Chamber of Commerce (ICC) Indonesia mencatat masih minimnya jumlah pegawai bank dan bankir yang memiliki sertifikat ahli kredit perdagangan internasional (trade finance) khusus Letter of Credit (L/C). Kondisi tersebut menggambarkan latar belakang rendahnya kegiatan ekspor Indonesia selama ini.
 
Ketua Komisi Perbankan ICC Indonesia Herry Hykmanto mengatakan, di Indonesia baru terdapat sekitar 100 orang yang telah memiliki sertifikat bernama Certified Documentary Credit Specialist (CDCS) tersebut.

“Di Tiongkok sudah ada 7.000 orang, kemudian India 2.000 orang, bahkan dengan Bangladesh pun kita masih kalah. Saya khawatir sumber daya manusia (SDM) yang mengerti L/C masih saja terbatas, walaupun Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan diterapkan pada 2015,” kata Herry di Jakarta, Selasa (18/9).

Herry mengatakan, CDCS menjadi patokan dalam perdagangan internasional untuk menentukan apakah bank yang digunakan untuk L/C dapat dipercaya. Jika seorang pegawai bank yang mengurus L/C eksportir asal Indonesia tidak memiliki CDCS, bisa terjadi kemungkinan ditolaknya pembayaran oleh negara tujuan karena dianggap tidak kompeten.

“Saat ini banyak bank yang memperebutkan SDM dengan sertifikat CDCS karena memang masih terbatas jumlahnya. Tapi sayangnya, tidak banyak pimpinan bank yang melihat pentingnya CDCS dimiliki oleh stafnya, karena harus memberikan pelatihan khusus,” kata dia.

Menurut Herry, hambatan utama selain awareness yang minim, yaitu bank cenderung malas untuk mendorong pegawainya mengikuti pelatihan sertifikasi CDCS yang memakan waktu serta dengan harga hingga Rp 8 juta per orang. Di sisi lain, perbankan nasional diharap dapat lebih kompetitif ketika dihadapkan dengan perbankan luar negeri.

Kendati saat ini tren penggunaan L/C dalam trade finance mulai digeser oleh bentuk open account, Herry membantah bahwa CDCS tidak bermanfaat. Pasalnya, di tingkat internasional, penggunaan L/C masih sekitar 45% dan di Indonesia masih lebih dari 60%.

“Berdasarkan survei yang dilakukan di 119 negara dan 229 bank pada 2011 dan awal 2012, trennya akan kembali ke L/C. Ini karena belakangan ada krisis Eropa. Dulu ekspor ke Yunani, kita berani pakai open account. Tapi apakah sekarang berani?” tukasnya.

Herry mengemukakan, pada 2013 aturan praktik standar perbankan internasional (International Standard Banking Practice/ISBP) mulai diterapkan oleh ICC di seluruh dunia. Dalam aturan yang diterima secara internasional tersebut, petugas pengurus L/C  di setiap bank harus memiliki sertifikasi CDCS.

“Kami sudah sampaikan ini ke Bank Indonesia (BI), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), dan Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP) agar sertifikasi ini dapat diwajibkan. Sehingga dalam 3 tahun ke depan, diharapkan sudah ada 1.000 pegawai bank yang memiliki CDCS,” paparnya.

Herry mengungkapkan, pihaknya akan merombak organisasi (ICC Indonesia) agar dapat menggenjot sertifikasi tersebut, termasuk mensosialisasikannya dengan baik kepada eksportir dan importir melalui Kamar Dagang Industri Indonesia (Kadin). Menurutnya, pihak LSPP dan Perbanas sangat menyambut niat ICC Indonesia tersebut.

“Ini sifatnya non profit dan jika sudah siap dari sisi LSPP-nya, bisa ditindaklanjuti sehingga bisa rampung tahun ini,” pungkasnya. (grc)

BRI Rambah Biayai Industri Fashion



JAKARTA – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) mulai serius merambah industri fashion domestik untuk melakukan pembiayaan. Pasalnya, belakangan industri tersebut mulai mencari peluang untuk melakukan ekspor-impor lebih giat.

Sekretaris Perusahaan BRI Muhamad Ali mengatakan, geliat industri fashion semakin meningkat, sehingga menyumbang 0,5% atau sebesar US$ 5 miliar terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2011 yang mencapai sekitar Rp 7.400 triliun.

Ali menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cenderung stabil dan didukung konsumsi yang tinggi, membuat prospek industri fashion semakin berkembang.

“Sebagai bank penyalur kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terbesar di Indonesia, kami sangat concern dengan perkembangan industri fashion di tanah air,” kata Ali dalam jumpa pers Jakarta Fashion Week di Gedung Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (19/9).

Hingga Juni 2012, total penyaluran kredit BRI ke industri fashion telah mencapai sekitar 0,5% dari total kredit sebesar Rp 305 triliun. Sedangkan pada periode yang sama, total penyaluran kredit UMKM, yang termasuk di dalamnya adalah kredit ke industri fashion telah mencapai Rp 231,4 triliun, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 213 triliun.

Melihat perkembangan dunia fashion yang semakin maju, kata Ali, BRI akan mengupayakan seluruh pelaku industri tersebut untuk mendapatkan pembiayaan.

“Tentunya dengan produk pembiayaan beserta keistimewaan yang sesusai dengan kebutuhan para fashionista yang muda, dinamis, dan kreatif,” ujar dia.

Saat ini, lanjutnya, BRI memiliki skim Kredit Usaha Rakyat (KUR) mikro dengan plafon yang cocok untuk industri kecil dan menengah di sektor fashion. Nilai plafonnya dapat mencapai Rp 20 juta, sedangkan KUR ritel mencapai Rp 500 juta.

“Skim ini sangat cocok untuk pelaku bisnis kecil atau ritel yang baru memulai usahanya untuk menguatkan permodalan mereka dalam mengembangkan usaha, sehingga cashflow akan lebih lancar,” papar Ali.

Sedangkan di sisi jenis kreditnya, kata dia, BRI menawarkan produk kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI). KMK dapat membantu kebutuhan keuangan operasional usaha, sedangkan KI untuk pembelian aset penunjang usaha. Sedangkan untuk pengusaha fashion yang telah melakukan ekspor-impor, terdapat fasilitas lainnya seperti L/C (Letter of Credit), KMK ekspor-impor, dan lain-lain.

Selain memberikan pembiayaan, perseroan berupaya memajukan usaha fashion dari debitor yang non bankable hingga menjadi bankable di tingkat mikro, kemudian menjadi ritel dan menengah. Sejumlah layanan yang diberikan yaitu bantuan pemasaran produk debitor secara luas, melalui keikutsertaan pada event besar terkait fashion, baik tingkat domestik maupun internasional.

“Misalnya, kami mengikutkan mitra-mitra kami pada pameran Inacraft yang terbesar di Indonesia, kemudian pameran Adikriya, Jakarta Fashion Week, event-event bazar, event  kebudayaan di berbagai negara, dan lain-lain,” jelasnya.

Ali menambahkan, perseroan turut melatih para debitor untuk membuat laporan keuangan secara sederhana, sehingga memudahkan dalam mengelola keuangan usaha mereka. BRI juga memasang mesin electronic data capture (EDC) pada setiap outlet debitor untuk memudahkan transaksi.  

Sementara itu, Direktur Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan Bustami mengatakan, saat ini kelompok masyarakat menengah di Indonesia mencapai 50 juta orang atau sekitar 30% dari total penduduk. Kelompok tersebut, kata dia, sangat menarik untuk menjadi sasaran produk fashion dalam negeri.

“Kalau tidak kita manfaatkan, negara lain yang akan memanfaatkan. Kita banyak mengimpor fashion, terutama aksesoris, itu mencapai US$ 700 juta pada 2011. Padahal, kita banyak memiliki desainer berbakat yang membutuhkan dukungan seoptimal mungkin. Pada 6 bulan pertama tahun 2012, total ekspor fashion termasuk kosmetik kita mencapai US$ 5,5 miliar ke 20 negara,” paparnya. (grc)

Senin, 13 Agustus 2012

Kerja di Bank Syariah, Harus Ubah Gaya Hidup




Masih minimnya kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia (SDM) atau sumber daya insani di industri perbankan syariah membuat situasi bajak-membajak karyawan terus terjadi.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Bank-Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Achmad K Permana mengatakan, kondisi terbatasnya lulusan khusus ekonomi syariah maupun perbankan syariah membuat bank syariah terpaksa mencari fresh graduate atau karyawan berpengalaman dari bank konvensional.

Namun, seringkali upaya itu masih terkendala oleh banyak hal, termasuk soal perbedaan gaya hidup karyawan yang cukup drastis.

“Banyak karyawan yang segan kerja di bank syariah karena mereka sudah tidak boleh jalan-jalan pakai celana pendek lagi, tidak boleh merokok, tidak boleh pasang foto yang terlalu berani di Facebook. Mereka mau tidak mau memang harus menyesuaikan gaya hidupnya,” tukas Permana dalam Bincang-Bincang Menguak Krisis Sumber Daya Insani di Perbankan Syariah di Jakarta, Senin (13/8).

Permana mengatakan, hal lainnya yang juga dapat membuat para karyawan bank konvensional atau fresh graduate berlatar belakang konvensional tidak berminat bekerja di bank syariah adalah persoalan remunerasi atau bonus.

Dia menjelaskan, seorang bankir top level di bank konvensional bisa saja meraih total remunerasi hingga ratusan juta bahkan Rp 1 miliar satu tahunnya. Padahal, di sebuah unit usaha syariah, total laba bersih suatu bank saja bisa hanya sekitar Rp 10 miliar per tahun, sehingga tingkat remunerasinya tidak sebanding.

Permana yang juga menjabat Kepala Divisi PermataBank Syariah juga mengatakan, rata-rata anak buahnya berasal dari bank konvensional, tidak terkecuali bank asing.

“Mereka terpikir mencari karier dan pendapatan yang bagus di konvensional. Tapi saya bilang, di bank konvensional, best sales atau tenaga pemasar paling top itu ada ribuan jumlahnya. Sedangkan di bank syariah paling hanya 2-3 orang. Itu kesempatan bagi mereka,” kata Permana.

Namun, dia mengakui, keputusan orang untuk berpindah pekerjaan adalah sebuah Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga persoalan bajak-membajak masih akan terus ada jika suplai SDM perbankan syariah belum memadai.

ID/Grace Dwitiya Amianti

Senin, 30 Juli 2012

Perbankan Berlomba Terjun ke Kredit Infrastruktur






Oleh: Grace Dwitiya Amianti


NUSA DUA – Kendati merupakan jenis kredit jangka panjang dan nilai plafon serta risikonya cukup tinggi, kredit infrastruktur tetap dilirik oleh perbankan nasional. Bahkan, bank-bank yang sebelumnya tidak memiliki sejarah yang panjang dalam pembiayaan infrastruktur, mulai tertarik untuk terlibat.

PT Bank Central Asia Tbk (BCA) termasuk bank yang sebelumnya tidak terlalu banyak berkecimpung dalam kredit infrastruktur. Namun, kondisi ekonomi yang sedang bertumbuh, ditunjang proyek-proyek pembangunan yang semakin meningkat, membuat bank swasta nasional itu menyatakan ketertarikannya untuk turut terlibat.

Direktur Korporasi BCA Dhalia Mansoor Ariotedjo menegaskan, pihaknya tidak bersikap 'pilih-pilih' atau terlalu selektif terhadap proyek-proyek yang layak dibiayai. Menurut dia, perseroan tetap akan membiayai proyek yang memang feasible.

"Yang sudah pasti untuk infrastruktur itu sekitar Rp 2 triliun sampai akhir tahun," ungkap Dhalia seusai penandatanganan kredit sindikasi di Nusa Dua, Bali, Senin (9/7).

Hingga April 2012 yang lalu, total realisasi pinjaman (outstanding) BCA untuk infrastruktur mencapai Rp 23 triliun. Sedangkan nilai yang belum ditarik sebesar Rp 10 triliun.

BCA terlibat dalam kredit sindikasi sebesar Rp 1,73 triliun untuk proyek jalan tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa (Tol Benoa) yang dipelopori PT Jasamarga Bali Tol (JBT), dengan porsi sebesar Rp 200 miliar. Tidak ingin ketinggalan, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) turut terlibat dalam sindikasi tersebut, dengan porsi sebesar Rp 104,3 miliar.

BTN yang notabene pemain utama di pasar Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tertarik untuk masuk ke pembiayaan jalan tol untuk pertama kalinya karena proyek tersebut sangat feasible. Di sisi risiko dan aspek lainnya, perseroan menilai proyek tersebut sudah memenuhi kriteria yang baik.

"Ini dapat meningkatkan kredit investasi jangka panjang. Tapi kami tetap konsentrasi di kredit perumahan, terutama segmen menengah ke bawah atau di bawah harga Rp 1 miliar," ungkap Direktur Konsumer dan Operasional BTN Irman Alvian Zahiruddin.

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) yang selama ini lebih dikenal sebagai bank mikro, belakangan cukup getol menambah komitmen-komitmen kredit untuk infrastruktur. Sebagai contoh, dengan Jasa Marga dan Kereta Api untuk angkutan darat, Angkasapura untuk angkutan udara, dan Pelindo untuk angkutan laut.

"Target kami untuk jalan tol saja kira-kira Rp 2,8 triliun tahun ini. Sudah signing semua, tinggal pencairan saja," ungkap Direktur Bisnis Kelembagaan dan BUMN BRI Asmawi syam.

Dia menjelaskan, BRI hendak masuk ke kredit infrastruktur untuk Angkasapura selanjutnya sebesar Rp 4 triliun dengan sistem sindikasi.Target infrastruktur. Namun, hingga kini sindikasi untuk Kereta Api-lah yang paling besar bagi BRI, yaitu Rp 2 triliun.

Bank yang sudah cukup sering membiayai jalan tol, yaitu PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menegaskan posisi mereka di bidang infrastruktur. Hingga kini, total dana yang dikucurkan BNI untuk membiayai pembangunan jalan tol di seluruh Indonesia sebanyak Rp 4,1 triliun.

Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Riswinandi menegaskan, perbankan tetap memiliki mandat intermediasi namun tetap mengevaluasi apakah proyek-proyek tertentu cukup feasible. Dia menilai, multiplier effectnya cukup besar jika infrastruktur mendapatkan pembiayaan dari bank dan dikembangkan dengan serius.

Hingga Mei 2012, pembiayaan Bank Mandiri di sektor infrastruktur mencapai Rp 29,96 triliun, meningkat 28,6% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 23,29 triliun. Dari portofolio kredit tersebut, pembiayaan untuk pembangunan jalan tol mencapai Rp 10,66 triliun, tumbuh sekitar 6,4% dari penyaluran pada Mei 2011 yang sebesar Rp 10,02 triliun.

Bunga 10%
Sementara itu, enam bank yang terlibat dalam sindikasi untuk proyek pembangunan jalan tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa di Bali mematok bunga kreditnya di level 10% untuk tahap awal.

Sebanyak enam bank, yaitu PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Central Asia Tbk (BCA), PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN), dan PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali, memberikan kredit sindikasi sebesar Rp 1,73 triliun untuk proyek tersebut.

PT Jasamarga Bali Tol (JBT) selaku debitor dan anak usaha PT Jasa Marga (Persero) Tbk menggandeng sebanyak tujuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karya atau yang bergerak di bidang konstruksi.

“Untuk bunganya 10 persen pada masa konstruksi, setelah konstruksi selesai, bunga sebesar average time deposit (rata-rata bunga deposito) plus 5 persen. Sedangkan tenornya 15 tahun dengan masa tenggang (grace period) 3 tahun,” kata Direktur Utama JBT Akhmad Tito Karim dalam jumpa pers seusai penandatanganan kerja sama di Nusa Dua, Bali, Senin (9/7).

Dari kredit sindikasi tersebut, tiga bank menjadi joint lead mandated arrangers, yaitu BNI, BRI, dan Bank Mandiri dengan kredit masing-masing sebesar Rp 445 miliar. Kemudian BCA menyalurkan Rp 200 miliar, BTN Rp 104,3 miliar, dan BPD Bali Rp 100 miliar. (grc)

Jumat, 04 November 2011

BI Akan Batasi Maksimal Bunga Kartu Kredit


BI Akan Batasi Maksimal Bunga Kartu Kredit

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) akan membatasi bunga kartu kredit seperti yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK). PBI tersebut segera dikeluarkan pada akhir November 2011 dan bakal berlaku pada 1 Januari 2013, serta 1 Januari 2015 untuk poin tertentu.


Gubernur BI Darmin Nasution menegaskan, sebenarnya yang diatur BI bukanlah semata-mata bunga, melainkan maksimal pengenaan bunga. “Kami akan atur bahwa bunga maksimal sekian, tidak boleh lebih dari itu. Kalau ternyata bunga yang dikenakan kurang dari angka maksimal itu, ya lebih bagus,” kata dia ketika ditemui di BI, Jakarta, Jumat (4/11).


PBI APMK, kata dia, mengatur permasalahan tagihan bunga berbunga yang tidak bisa dikenakan kepada semua orang. Di dalamnya juga terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi terkait pemberitahuan, agar nasabah mengetahui kewajibannya. Sehingga, ketika ditagih, nasabah tidak akan terkejut dan tidak bisa membayarnya.


Saat ini, peraturan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) belum termasuk untuk kartu kredit, melainkan baru memasukkan kredit konsumer KPR dan kredit konsumer non-KPR. Dengan adanya maksimal bunga kartu kredit, BI menegaskan agar para penerbit transparan dan melaporkan kepada nasabah untuk setiap komponen pembentuk bunga, termasuk premi risiko.


Menurut Darmin, nasabah selama ini banyak yang tidak memiliki pengetahuan apapun tentang bagaimana penerbit kartu kredit mengenakan perhitungan bunganya. Sebab itu, tidak ada sistem tawar-menawar, melainkan hanya mengisi formulir dan menandatanganinya. Hal itu berbeda dengan pengajuan kredit lainnya yang bisa terjadi negosiasi mengenai suku bunga.


“Jadi ya kami atur maksimal bunganya berapa. Itulah gunanya pengatur atau regulator,” ujar dia.


Menurut Darmin, rata-rata bunga kartu kredit di pasar saat ini, yaitu 3,5%-3,75% per bulan, dinilai terlalu tinggi oleh BI. Padahal, banyak nasabah yang tidak mengetahui apa-apa tentang itu. Dia mensinyalkan, bunga kartu kredit yang cukup wajar berada di sekitar 2%-3%.


PBI APMK juga bakal menetapkan pembayaran atau cicilan minimal (minimum payment) sebesar 10%, kendati kisaran di pasar saat ini di bawah itu. Dia mengakui, terdapat bank yang menilainya terlalu tinggi. Terkait denda atas keterlambatan pembayaran juga bakal diatur di situ.


Menurut Darmin, kendati PBI APMK lebih ketat dibandingkan peraturan pada 2009, BI tidak melihat bahwa industri akan tertekan. Bank sentral, kata dia, menginginkan pertumbuhan kartu kredit yang baik dengan aturan main yang cukup jelas.


“Kami yakin, dengan adanya maksimal bunga, itu dapat mendongkrak pertumbuhan. Kami memilih pertumbuhan yang masuk akal, tapi lebih safe bagi semua pihak, ketimbang pertumbuhan berlebihan namun safety-nya kurang diatur,” jelas dia.


Direktur Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran BI Ronald Waas menambahkan, selain turut mengatur tentang kartu kredit syariah, PBI APMK juga akan sepaket dengan PBI Alih Daya (Outsourcing), karena terkait dengan sistem penagihan yang selama ini menggunakan jasa pihak ketiga. Saat ini, PBI APMK masih ditinjau secara legal oleh Direktorat Hukum BI.


Setelah dikeluarkan pada akhir November 2011, PBI APMK akan melarang penggunaan kartu kredit untuk pemberian kredit tanpa agunan (KTA) per 1 Januari 2012. Sedangkan terkait peraturan secara umum serta penggunaan SMS alert untuk pemberitahuan transaksi yang tidak sesuai profil, berlaku pada 1 Januari 2013.


BI kemudian mewajibkan seluruh kartu kredit menggunakan personal identification number (PIN) pada 1 Januari 2015, sehingga tidak lagi menggunakan tanda tangan yang cenderung mudah dipalsukan.


Syarat Penting

Ronald mengatakan, PBI APMK juga mengatur minimal penghasilan yang dianggap layak (eligilble) menerima kartu kredit, yaitu Rp 3 juta per bulan. Nasabah tersebut maksimal memiliki kartu dari 2 penerbit. Dengan kata lain, nasabah dapat memiliki dua kartu dari 1 penerbit dengan prinsipal berbeda (Master dan Visa), sehingga totalnya maksimal 4 kartu dari kedua penerbit.


Sedangkan plafon maksimal 3 kali gaji minimum atau di bawah Rp 10 juta. Jika plafon mencapai lebih dari Rp 10 juta, BI menyerahkannya kepada pertimbangan bank penerbit kartu untuk assesment risikonya.


Di sisi lain, General Manager Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Marta mengatakan, pihaknya sudah membahas terkait pengenaan bunga tersebut bersama BI, namun memang tidak spesifik mengenai besarannya. Industri, kata dia, telah setuju untuk pengaturan bunga, sehingga akan menyerahkan planning penurunan suku bunga.


“Bunga yang kami tawarkan, tidak jauh berbeda dengan yang ditawarkan,” ujar dia.


Sedangkan terkait plafon, AKKI sempat menawarkan maksimal plafon 3 kali dari Upah Minimum Regional (UMR). Namun, ternyata BI menetapkan Rp 3 juta sebagai ukuran yang layak. Sedangkan terkait pembatasan jumlah kartu, AKKI juga sempat menginformasikan kepada BI terkait sulitnya mekanisme dengan infrastruktur yang ada.


“Namun kami akan lihat lagi, agar comply dengan aturan tersebut,” kata dia.


Steve menilai, jika dilihat dari sisi perkembangan bisnis kartu kredit, PBI APMK memang cenderung memperketat dan menyulitkan. Namun, menurut dia, harus dilihat dari dua sisi. Sebab jika industri tidak memberikan batasan dan memberikan kartu kredit kepada siapa saja, pada akhirnya akan meningkatkan kredit macet. (grc)


Rabu, 02 November 2011

Bunga Turun, Kabar Baik Bagi Debitur KPR


JAKARTA – Masih terbukanya peluang untuk kembali turunnya suku bunga acuan (BI rate) karena rendahnya inflasi, bahkan deflasi pada Oktober 2011, membuat perbankan siap menurunkan bunga. Pada saat yang sama, pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) di bank-bank cukup tinggi.


Berdasarkan Survei Perbankan Triwulan III-2011 yang dirilis Bank Indonesia (BI), suku bunga kredit konsumsi rupiah telah mengalami penurunan dari 16,51% pada triwulan II-2011, menjadi 14,99%. Spread bunga kredit konsumsi juga telah menurun dari 10,42% menjadi 8,95%.


Kendati bankir memperkirakan bunga kredit konsumsi meningkat kembali menjadi 15,12% dan spread menjadi 9,03% pada triwulan IV-2011, ekspektasinya cukup positif. Sepanjang 2011, bankir memperkirakan pertumbuhan kredit properti residensial dan komersial secara year on year (yoy) masing-masing dapat mencapai 25,7% dan 18,9%.


BI juga mencatat ekspektasi penyaluran kredit tahun 2011 di mata bankir juga dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap kondisi makro perekonomian. “Serta kebijakan suku bunga kredit oleh perbankan atau alasan makro,” tulis BI seperti dikutip Investor Daily di Jakarta, Rabu (2/11).


Pengamat perbankan dari Strategic Indonesia Jos Luhukay mengatakan, kemungkinan turunnya BI rate masih tinggi dan bisa dinilai menggembirakan oleh ekonomi domestik. Menurutnya, setiap potongan (cut) terhadap bunga di saat ekonomi masih kondusif, bakal berdampak positif dan mengalihkan dari dampak krisis terhadap kinerja ekspor.


Berdasarkan pengamatan Investor Daily, sejumlah bank juga telah menurunkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) pada periode September 2011, kendati tidak terlalu signifikan. Namun, beberapa bank tertentu melakukan penurunan SBDK cukup besar, terutama untuk KPR.


Sebagai contoh, per Juni 2011, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mematok SBDK untuk KPR di level 9,50%. Pada 31 Oktober 2011, BCA mengumumka SBDK KPR-nya menjadi 7,50%. Tidak hanya KPR, BCA menurunkan SBDK kredit konsumer non-KPR hampir sebesar 200 basis points (bps) dari 10,05% pada Juni 2011 menjadi 8,64%.


Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan, pihaknya memang sengaja meneruskan program KPR berbunga fixed 7,5% untuk 1-2 tahun hingga Desember 2011 dari sebelumnya September 2011. “Kami akan stop dulu pada akhir tahun dan kembali ke rate normal, namun kami akan menggenjot KPR kembali pada Februari 2012 atau hari ulang tahun BCA,” kata dia.


Penurunan SBDK KPR juga dilakukan oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) dari 11,90% menjadi 11,80% per 30 September 2011. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI), pada periode yang sama juga menurunkan SBDK KPR dari 11,49% menjadi 11,07%.


Tidak ketinggalan, bank campuran seperti PT ANZ Panin Bank dengan segmen menengah ke atas, turut menurunkan SBDK KPR-nya dari 12,27% menjadi 10,68%. Penurunan yang cukup signifikan sebesar 1,59% tersebut terjadi per 7 Oktober 2011.


Direktur Utama BNI Gatot Mudiantoro Suwondo mengatakan, kebutuhan untuk KPR masih sangat besar dan kondisinya masih jauh dari bubble. Pasalnya, mayoritas debitur KPR di BNI merupakan pembeli rumah pertama (first buyer).


BNI memang mengandalkan pertumbuhan KPR-nya melalui produk KPR BNI Griya, dengan porsi terbesar dari seluruh kredit konsumsi, yaitu 56%. Hingga kuartal III-2011, pertumbuhan KPR BNI Griya tercatat sebesar 49,6% dari Rp 10,82 triliun menjadi Rp 16,20 triliun.


Begitu pula yang terjadi di BRI, dimana KPR menjadi kontributor terbesar terhadap pertumbuhan kredit konsumernya. Hingga kuartal III-2011, pertumbuhan KPR BRI mencapai 29,5% menjadi Rp 7,95 triliun. Menurut Direktur Utama BRI Sofyan Basir, persaingan di KPR memang cukup tinggi.


“Tapi komitmen kami terus jalan untuk KPR dan kredit properti secara umum. Sebab di sisi lain ada pengembangan infrastruktur yang tidak berhenti, aehingga kebutuhan untuk rumah selalu meningkat,” kata Sofyan. (grc)