Kamis, 24 Maret 2011

BI: ASEAN Masih Jauh dari Penyatuan Mata Uang


JAKARTA – Bank Indonesia (BI) memperkirakan, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) kemungkinan besar tidak akan dengan mudah melakukan penyatuan mata uang tunggal-regional seperti halnya Uni Eropa dengan mata uang Euro. Pasalnya, wilayah Asia Tenggara sangat beragam dari sisi ekonominya.

“Pekerjaan rumah pertama yang harus dilakukan adalah mengharmoniskan negara-negara ASEAN, sebab heterogenitasnya sangat tinggi. Lihat saja, ekonomi Laos jauh berbeda dengan ekonomi Singapura. Juga ekonomi Indonesia dibanding dengan Kamboja dan lain-lain,” kata Economist and Assistant to the Governor (Staf Khusus Gubernur) BI Haris Munandar kepada Investor Daily di Jakarta, belum lama ini.


Haris mengatakan, negara-negara ASEAN tentunya perlu membenahi inflasi dan kondisi makronya terlebih dahulu. Indonesia sendiri, kata dia, masih perlu mengejar inflasi regional yang jauh di bawah tingkat inflasi nasional saat ini, yaitu sekitar 6-7%.


Sebab itu, kata Haris, harmonisasi antar negara-negara Asia Tenggara perlu dilakukan lebih cepat menuju tahun pembentukan MEA pada 2015. Ketika kondisi-kondisi makro ASEAN sudah kokoh, lanjut dia, belum tentu arahnya menuju pembentukan mata uang tunggal-regional.


“Masih ada sekitar 2-4 tahap lagi yang harus dilalui jika MEA berniat menyatukan mata uang. Selain itu, faktor penting lainnya yang cukup menentukan adalah keputusan politik.


Seperti diketahui, saat ini hanya Euro yang menjadi mata uang tunggal-regional satu-satunya di dunia. Namun, krisis Eropa kemudian dipicu oleh defisit fiskal di Yunani. Hal itu membuat sejumlah ekonom internasional meragukan Yunani dapat keluar dari pusaran krisis jika negara itu bertahan menggunakan Euro. Sebab itu, Yunani dinilai perlu kembali ke mata uang lamanya, yaitu Drachma.


Haris menilai, Yunani bisa saja menggunakan mata uang berbeda untuk shock absorber, sehingga ekspornya terbantu dan kondisi fiskal, seperti pajak, bisa lebih besar. Namun hal ini tidak terjadi karena Yunani sudah terlanjut mematok pertumbuhan ekonomi dan lainnya dengan menggunakan Euro.


Untuk mengukur kondisi makro ekonomi, kata Haris, nilai tukar menjadi resultante-nya sehingga terdapat hasil dari interaksi perdagangan dan aliran modal asing. “Jadi, mata uang tunggal-regional itu harus dijamin oleh kondisi fundamental ekonomi yang baik serta nilai tukar yang stabil, misalnya dengan dolar,” kata dia.


Syarat lainnya untuk penyatuan mata uang, kata dia, kebijakan di negara-negara yang bersangkutan di regional tersebut harus harmonis. Sebab itu, tidak boleh terjadi defisit lebih dari 3% atau jauh dari negara lainnya di kawasan itu. Defisit Yunani, kata dia, sangat jauh dibanding negara-negara Eropa Barat.


Untuk jaminannya, kata dia, harus dibuatkan beberapa peraturan yang dipayungi oleh sebuah institusi yang dikawal bersama. “Untuk Uni Eropa misalnya Maastricht Treaty, yang akhirnya menelurkan Euro dan Masyarakat Ekonomi Eropa. Bank sentral Eropa (European Central Bank) juga menjadi otoritas moneter di zona itu,” imbuh Haris. (grc)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar