Selasa, 08 Maret 2011

Setor GWM, Perbankan Masih Sangat Likuid



JAKARTA – Bank-bank yang memiliki rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) yang tidak mencapai batas bawah yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) sebesar 78% meyakini kondisi likuiditas masih cukup baik. Kendati mereka terpaksa membayar tambahan Giro Wajib Minimum (GWM) sebagai penalti, situasi sumber dana dinilai masih cukup likuid.


Wakil Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan, tambahan GWM yang harus dibayar pihaknya sekitar Rp 6 triliun. “Tapi kami masih punya SBI dan term deposit di BI sebesar Rp 65 triliun, jadi sisanya masih ada Rp 59 triliun. Itu masih luar biasa likuid,” kata Jahja kepada Investor Daily di Jakarta, Kamis (3/3).


Menurut Jahja, sebenarnya BCA tidak membayar penalti, melainkan menambah GWM dari dana BCA sendiri yang tersimpan di BI. Namun, besaran bunga insentif GWM sebesar 2,5% setelah bank membayar tambahan GWM sebesar 8% memang lebih kecil daripada bunga SBI sekitar 6,0-6,75%. Hal itu, kata dia, memang tampak seperti penalti.


PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) juga termasuk dalam bank-bank yang harus membayar penalti karena rendahnya LDR. Hingga September 2010, LDR BNI baru mencapai 68%. Chief Financial Officer BNI Yap Tjay Soen mengakui pihaknya membayar tambahan GWM, kendati tidak mengetahui berapa persisnya yang dibayar.


Sebelumnya, Direktur Manajemen Risiko PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Sentot A Sentausa juga mengatakan, pihaknya telah menghitung sekitar Rp 3 triliun tambahan GWM yang harus dibayarkan ke BI. Pasalnya, LDR Bank Mandiri hingga akhir Desember 2010 baru sekitar 66%.


Kendati demikian, Sentot menilai, likuiditas perseroan masih cukup aman, kendati cadangan primer dan sekunder perseroan di luar kredit, dengan ditambah kas mencapai Rp 167,03 triliun.


PT Bank Mega Tbk juga termasuk dalam bank yang LDR-nya masih di bawah 78%, yaitu sekitar 58% pada posisi Februari 2011. Direktur Treasury Bank Mega Sugiharto mengatakan, pihaknya telah menyiapkan sekitar Rp 700 miliar untuk menambah GWM.


Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, kendati terdapat pengurangan likuiditas perbankan untuk menambah GWM, kondisinya tidak ada masalah. LDR, kata dia, telah naik sekitar 77% atau 200 basis poin, sehingga menunjukkan pertumbuhan kredit yang sedikit lebih besar dibanding dana pihak ketiga (DPK).


Menurut Ekonom Mirza Adhityaswara, tidak ada masalah dengan likuiditas karena penambahan GWM tersebut, karena bank-bank yang terkena peraturan itu memiliki likuiditas yang besar. Kenaikan GWM valuta asing kemarin dari 1% menjadi 5%, kata dia, hanya menyerap sekitar US$ 2,5 miliar. “Nah kalau GWM rupiah ini paling hanya sekitar Rp 10-15 triliun,” imbuh dia.


Deputi Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Irwan Lubis mengatakan, peningkatan LDR memang tidak bisa dilakukan secara instan. Namun, BI optimistis bank-bank yang LDR-nya masih di bawah ketentuan masih berupaya untuk mendorong kreditnya. Kemungkinan, kata Irwan, LDR tersebut baru mencapai batas bawah pada setahun-dua tahun ke depan.


Mirza menambahkan, bagi bank-bank yang LDR-nya overheating, seperti contohnya PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) dengan LDR 108%, tidak akan dikenai penalti karena rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) di atas 14%. Selain itu, likuiditas yang overheating itu cenderung ditopang oleh dana dari pasar modal dan oblgiasi.


“Kalau misalnya BTN ditopang oleh Pasar Uang Antar Bank (PUAB) saja tanpa pasar obligasi, itu berbahaya karena tidak ada commited line dan rata-rata tenornya hanya 7 hari bahkan 1 hari. Namun obligasi tenornya jangka panjang hingga 3 tahun dan BTN bisa membiayai kredit pemilikan rumah (KPR) dengan aman karena tidak ada mismatch pendanaan,” kata dia.


Sebab itu, menurut Mirza, LDR yang bagus adalah di kisaran maksimal 90% jika bank-bank tersebut tidak memiliki keistimewaan seperti BTN. Sebab, perbankan perlu menyimpan 10% sisanya untuk dana berjaga-jaga atau menangkal potensi rush nasabah. (grc/epa)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar