Rabu, 30 Maret 2011

Risiko Bank Tinggi: Tren Fraud Risk Cenderung Menurun



JAKARTA – Kalangan perbankan menilai tren risiko penipuan (fraud risk) cenderung menurun saat ini. Kendati demikian, perbankan merupakan bisnis yang dinilai paling berisiko dibanding bisnis lainnya, sehingga memerlukan manajemen risiko yang baik.


Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja dan Direktur Manajemen Risiko PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) Sutanto menilai, risiko penipuan cenderung turun. “Tentunya semua bank mengalami, namun trennya sudah lebih baik di OCBC NISP,” kata Parwati kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (29/3).


Parwati mengatakan, salah satu sisi yang cukup rentan terhadap penipuan menurut pengalaman pihaknya adalah sistem pembayaran, terutama transfer dana dan lainnya.


Sutanto juga mengatakan, penipuan tergolong risiko operasional dan disebabkan oleh unsur manusia, baik internal maupun eksternal. Namun, dia mengatakan, tren fraud di BNI terus menurun dan relatif kecil, karena pihaknya telah melakukan antisipasi melalui berbagai upaya. Di antaranya, kata dia, penerapan program yang disebut dengan Operational Risk Self Assessment (ORSA).


Dia menambahkan, BNI telah menerapkan sistem pengendalian internal yang kuat, misalnya melalui pembatasan wewenang dan jenjang pengawasan yang jelas. Bagi seluruh pegawainya, perseroan memberlakukan code of conduct, bahwa setiap orang mengawasi orang yang lain atau perlu menjadi whistle blower.


Menurut Sutanto, sistem pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang baik melalui reward and punishment dengan tegas, seperti yang dilakukan BNI, merupakan salah satu program yang penting untuk mencegah risiko. Pasalnya, manusia atau SDM merupakan sisi yang paling rentan karena manusia memegang peran.


“Jadi, walaupun sistem pengendaliannya sudah bagus dan kuat, tapi kalau manusianya berniat jahat, ya bisa bobol juga,” imbuh dia.


Sutanto mencontohkan, orang dalam atau pejabat bank dapat melakukan penyalahgunaan kata kunci (password) yang dimiliki masing-masing. Setiap pejabat bank, kata dia, memang memiliki password untuk masuk ke sistem sesuai batas kewenangan mereka. Namun, penyalahgunaan tersebut semakin parah ketika pejabat bank bekerja sama dengan sesama pegawai atau orang luar, misalnya nasabah.


“Walaupun kejahatan ini pasti diketahui dalam waktu singkat, tapi ya bisa kejadian juga,” ujar Sutanto.


Firma dan konsultan keuangan PricewaterhouseCoopers (Pwc) dalam surveinya tahun ini menyimpulkan, sebanyak 27% bankir menilai level fraud risk tahun ini akan turun. Sisanya, 22% memprediksi levelnya akan naik, 51% memprediksi akan sama dengan tahun lalu. Selain itu, 69% telah melakukan fraud risk assesment dalam 2 tahun terakhir.


Sejumlah fraud risk yang dikhawatirkan adalah pemalsuan identitas sebanyak 29% dari responden, persekongkolan karyawan dan nasabah 25%, penipuan internet banking dan ATM 21%, penipuan transfer dana 19%, dan lain-lain 13%.


Survei tersebut memiliki responden bank lokal 31%, bank pemerintah 27%, joint venture 22%, dan foreign 20%. Berdasarkan asset, 38% dari bank beraset Rp 5-20 triliun, 30% dari bank beraset Rp 20-50 triliun, 28% dari bank beraset lebih dari Rp 50 triliun, dan 4% dari bank beraset Rp 0-5 triliun.


Sementara itu, Chief Economist and Goverment Relations Standard Chartered Bank Indonesia Fauzi Ichsan menilai, perbankan merupakan bisnis yang paling canggih namun paling berisiko. Manajemen risiko yang paling baik, bisa saja kebobolan, seperti halnya dialami Bank of England oleh seorang pegawai selama belasan hingga puluhan tahun.


Namun, Fauzi menilai, risiko tertinggi masih terdapat di sisi corporate banking dan pasar keuangan, bukan di sisi ritel. Kasus-kasus besar, seperti L/C di BNI, Bapindo atau kasus Edy Tanzil, serta Bank Century, kata dia, merupakan kasus yang terjadi di perbankan korporasi atau berkaitan dengan debitur besar. Hal itu dinilainya semakin parah karena sistem hukum Indonesia yang masih buruk.


“Sewaktu krisis 1998-1999, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) saja bisa kalah di pengadilan oleh debitur besar yang ngemplang. Bahkan, recovery rate cuma 30%, tidak sampai 100%. Siapa yang membayar kerugiannya? Kita semua (masyarakat),” tutur Fauzi. (grc)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar