Senin, 21 Maret 2011

Maret Bakal Deflasi: Pemerintah Koordinasikan Pengendalian Inflasi di Daerah


JAKARTA – Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) mengkoordinasikan pengendalian inflasi di daerah terutama untuk harga pangan pokok. Hal itu dilakukan melalui monitoring terhadap potensi gangguan pasokan (suplai). Namun, pemerintah optimis deflasi akan terjadi pada akhir Maret 2011 ini.


“Dalam tim pengendalian harga pangan pokok yang juga dikoordinasikan dengan BI, kami akan bekerja sama juga dengan tim pengendali di daerah. Selain itu, kami juga mulai berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk seluruh Pemerintah Daerah (Pemda), sehingga efeknya ke daerah sangat besar,” kata Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Hatta Rajasa seusai Rapat Koordinasi dengan BI dan sejumlah menteri perekonomian di Jakarta, Senin (21/3).


Hatta mengatakan, monitoring tersebut dilakukan terutama saat terdapat gejolak harga pangan dan transportasi. Melalui koordinasi monitoring dengan seluruh Pemda, gangguan pasokan yang mengakibatkan harga naik pada daerah-daerah tertentu, akan direspon dan dikendalikan dengan cepat oleh pemerintah dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).


Hatta memaparkan, sebesar 77% inflasi nasional disumbang oleh daerah, sehingga umumnya tercatat adanya keterlambatan pasokan ke daerah, baik karena infrastruktur maupun transportasi yang belum memadai. Dia optimistis, pembangunan beberapa jalan rusak bakal segera direalisasikan.


Di sisi lain, pemerintah melihat potensi deflasi pada Maret ini karena laporan harga pangan yang menunjukkan penurunan, terutama pada volatile foods dan beberapa jenis beras. Namun, penurunan harga tersebut dilihatnya belum terjadi pada beberapa jenis pangan karena dipengaruhi harga pangan global.


Sementara itu, Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, fokus terhadap pengendalian inflasi bersama pemerintah dan TPID sangat serius karena berpengaruh terhadap kebijakan moneter. BI, kata dia, ingin memanfaatkan momentum tersebut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan sasaran-sasaran makro lainnya.


Dia juga mengatakan, kecenderungan deflasi pada bulan Maret merupakan hal yang sudah biasa. Pasalnya, musim panen sedang terjadi dan hujan tidak lagi terus-menerus turun. Hal itu terlihat dalam beberapa volatile foods, contohnya cabai-cabaian. Kendati demikian, besarannya masih belum diketahui apakah lebih tinggi dari rata-rata deflasi tahunan.


“Jika deflasinya lebih besar dari deflasi tahun lalu, inflasi year on year (yoy) bisa turun. Namun kalau pun terjadi deflasi, angkanya lebih kecil. Sebab itu, inflasi yoy akan tetap naik,” kata Darmin.


Hal itu diiyakan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan. Menurut dia, deflasi pada Maret 2010 yang lalu tercatat sebesar 0,14%. Jika Maret 2011, angka deflasi tercatat bisa 0,14%, inflasi yoy akan bertahan di angka 6,84% seperti angka inflasi pada Februari 2011. Sebab itu, kata dia, apa pun hasil yang bisa diraih pada Maret 2011, potensi inflasi yoy tetap bisa lebih tinggi dibandingkan yoy Februari.


“Dari perkembangan harga kemarin, trennya masih konsisten terutama untuk cabai serta beras. Tapi untuk inflasi Maret 2011, jika memang ada inflasi, angkanya masih akan lebih kecil daripada Februari 2011, mungkin bisa 0,13%,” papar Rusman.


Darmin mengatakan, pihaknya tetap memfokuskan pemantauan di sisi produksi, sehingga stok di Badan Urusan Logistik (Bulog) benar-benar bisa bertumbuh. Sebab itu, harga beras ke depannya tidak menjadi hal yang utama dalam ekspektasi inflasi. Menurut Darmin, jika stok di Bulog tidak bisa dikumpulkan sesuai jumlah yang diperlukan, kemungkinan inflasi bisa tinggi kembali pada kuartal III-2011.


Pembatasan Subsidi BBM

Sementara itu, Darmin memperkirakan, target inflasi sebesar 5% plus-minus 1% menurutnya sangat tergantung pada pembatasan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium. Tetapi jika rencana itu tidak dilaksanakan atau misalnya hanya ditunda, dia menilai, kemungkinan sedikit mencapai 6% atau sedikit di bawah 6% bisa tercapai.


“Tentu dengan sejumlah upaya yang kita lakukan. Memang kita baru bicarakan inflasi dan infrastruktur, belum sampai di pertumbuhan ekonomi. Tapi kita juga merasa, growth sebesar 6,4-6,5% bisa dicapai di kuartal I ini,” tutur Darmin.


Rusman Heriawan menilai, saat ini adalah waktu terbaik bagi pemerintah untuk memutuskan apakah rencana tersebut jadi dilaksanakan. Pasalnya, ke depan masih banyak potensi inflasi di beberapa bulan tertentu, contohnya tahun ajaran baru dan hari raya Idul Fitri. Jika pembatasan BBM tidak dilakukan dari Maret, April, atau Mei, menurut dia, lebih baik pemerintah tidak melakukannya sama sekali sepanjang tahun ini.


To be or not to be. Sebab ke depan, jegalannya banyak. Ini adalah waktu yang terbaik untuk pemerintah jika harus mengambil keputusan apapun, apakah pembatasan atau peningkatan harga premium,” kata Rusman.


Menurut dia, pengaruh pembatasan BBM ke ekspektasi inflasi cenderung dinamis, kendati dampak inflasinya semakin melebar. Sebab itu, pemeirntah perlu mengukur dengan pasti berapa besar gap antara Premium dan Pertamax yang akan disempitkan. Rusman melihat, perbedaan yang sangat jauh antara Premium dan Pertamax akan membuat migrasi besar-besaran.


“Saya tidak mengatakan moral hazard, tapi orang yang tadinya menggunakan Pertamax bisa kembali ke Premium karena tidak ada larangan. Pertamax sudah Rp 8.700 dan Premium Rp 6.500, itu sudah dua kali lipat dan siapa yang tidak tergoda kembali ke Premium? Tentu kita harapkan ada orang-orang mampu yang berjiwa besar untuk bertahan di Pertamax,” tutur dia.


Jika pemerintah tidak melakukan apapun dalam waktu dekat, Rusman mengkhawatirkan kuota subsidi BBM bisa membengkak. Sebab itu, dia menilai, dari sisi implementasi di lapangan, menaikkan harga premium lebih sederhana dibandingkan pembatasan subsidi. Pasalnya, dampaknya lebih mengena kepada semua orang. Apalagi, tambah dia, jika pemerintah memberikan cashback kepada angkutan umum agar tidak terjadi efek berantai ke harga barang dan jasa yang lain.


Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro meyakini, dampak kebijakan pembatasan subsidi BBM jika jadi dilaksanakan, tidak terlalu besar terhadap inflasi. Proyeksi dinilainya juga masih sama dengan APBN 2011. Namun, dirinya lebih setuju jika pemerintah melakukan penghematan di sisi belanja.


Selain rencana pembatasan BBM, Bambang menilai, administered prices lainnya tidak terlalu besar sumbangannya ke inflasi. Sumbangan pembatasan BBM subsidi terhadap inflasi, kata dia, tidak mencapai separuh inflasi indeks harga konsumen (IHK). “Keseluruhan administered prices itu hanya sekitar 16% dan BBM kemungkinan tidak akan sampai separuhnya. Jika jadi diterapkan, mungkin hanya sekitar 0,3-0,6% sumbangannya,” kata dia. (grc)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar